Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahwa perekonomian Indonesia masih dihantui ancaman inflasi akibat meningkatnya harga pangan.
Kompas.id (7/7/202) yang memberitakan pernyataan Menkeu tersebut, menjelaskan bahwa dalam situasi ketidakpastian ekonomi global dan perang Rusia-Ukraina, rantai pasok global pun terganggu.
Hal itulah yang imbasnya merembet hingga menyebabkan lonjakan harga pangan dunia. Bahkan, harga pangan atau bahan makanan produksi lokal pun di negara kita harganya naik luar biasa.
Sebagai contoh, saat ini ibu-ibu rumah tangga menjerit dengan naik drastisnya harga cabai. Sebelum itu tak terhitung harga barang dan jasa yang naik, mulai dari minyak goreng, gas elpiji, bawang merah, hingga daging sapi.
Nah, kondisi naiknya harga berbagai barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam waktu tertentu, dalam ilmu ekonomi disebut dengan inflasi.Â
Sebetulnya, inflasi tidak selalu berarti jelek. Inflasi bisa terjadi karena pasokan barang yang langka (dilihat dari sisi penawaran), bisa pula karena peningkatan belanja konsumen (dilihat dari sisi permintaan).
Jadi, kalau inflasi karena permintaan yang meningkat malah pertanda bangkitnya kegairahan ekonomi, yang bisa berlanjut dengan peningkatan produksi, sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat.
Artinya, sepanjang inflasi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, oke-oke saja. Biasanya, level inflasi seperti itu masih di bawah 4 persen dalam satu tahun.
Namun, bila pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan bersamaan dengan kondisi inflasi yang meningkat, inilah yang disebut dengan stagflasi. Asal katanya adalah gabungan dari stagnasi dan inflasi.
Peringatan dari Menkeu di atas, bisa ditafsirkan bahwa kita perlu waspada, karena inflasi sekarang lebih disebabkan kelangkaan pasokan.