Sekarang ini masyarakat seakan digiring untuk bergaya hidup konsumtif. Terlalu banyak godaan, sehingga seseorang yang semula tidak ada niat untuk berbelanja, bisa saja akhirnya membeli sesuatu.
Misalnya, ketika berselancar di dunia maya dengan membuka aplikasi media sosial tertentu, ada saja iklan atau testimoni dari seorang influencer yang mencuri perhatian.
Apalagi, kita tak harus punya uang untuk mendapatkan suatu barang. Cukup sambil rebahan, kita bisa menggunakan fasilitas paylater atau membayar belakangan yang sengaja difasilitasi oleh penyedia aplikasi tertentu.
Sebetulnya, hal itu sama saja dengan kita membeli barang secara kredit atau berutang. Hanya saja, saat berbelanja mungkin kita tidak menyadari konsekuensinya, malah merasa gembira seperti mendapat hadiah.
Penyedia paylater tersebut juga menerapakan strategi "jemput bola" dengan cukup aktif mengirimkan pesan yang merayu calon konsumen.Â
Hanya dengan persyaratan yang sangat ringan, siapa yang tidak tergiur? Anak muda atau remaja yang aktif bermedia sosial menjadi sasaran utama paylater.
Bahkan, untuk menarik perhatian konsumen, harga barang bisa lebih murah bila dibeli dengan fasilitas paylater ketimbang dibayar tunai. Ini sesuatu yang diluar logika umum.
Dibandingkan dengan persyaratan mendapatkan kartu kredit, dan juga dibandingkan dengan pinaman online (pinjol), paylater lebih gampang.Â
Namun, dilihat dari cara beroperasinya, ada kemiripan paylater dengan pinjol, karena sama-sama berbentuk aplikasi yang dapat diakses dari smartphone nasabah.
Bedanya dengan pinjol, paylater hanya untuk tujuan konsumtif, sedangkan pinjol bisa menyalurkan dana tunai yang dapat digunakan nasabah untuk konsumtif atau produktif.