Bisa jadi saya yang salah penafsiran ketika mendengar ceramah beberapa ustaz. Begini, kalau saya tidak keliru, materi ceramah itu terkait dengan rezeki yang diberikan Allah kepada orang yang rajin bersedakah.
Kisahnya mirip-mirip seperti ini. Sebut saja ada seseorang bernama Pulan. Ia sebetulnya lagi galau karena sedang bokek. Uang yang tersisa di dompetnya hanya sekadar untuk membeli sebungkus nasi dengan lauk ala kadarnya di warung pinggir jalan.
Eh, tiba-tiba ada anak kecil yang menjajakan tisu melintas di depannya. Dengan memelas si penjual tisu sedikit memaksa Pulan agar membeli tisunya.
Pulan sebetulnya tidak membutuhkan tisu. Tapi, melihat si anak penjual tisu, muncul rasa kasihannya. Tanpa berpikir panjang Pulan memberi uang yang tersisa di dompetnya kepada si anak sebagai sedekah, bukan untuk membeli tisu.
Dengan bersedekah, habis sudah uang Pulan. Ia pun melangkah gontai ke gubuk sederhananya untuk beristirahat sambil menahan lapar.
Ketika Pulan baru tertidur sekitar 1 jam, mendadak ada orang datang yang memberikannya satu paket sembako dan sebuah amplop berisi beberapa lembar uang. Air mata bahagia Pulan pun menetes sambil mengucap syukur alhamdulillah.
Begitulah kurang lebih cerita yang sering terungkap tentang rezeki yang tak terduga yang diterima orang yang gemar bersedekah.
Bahwa kisah seperti yang dialami Pulan di atas bisa saja memang seperti itu adanya, bukan sekadar skenario sebuah sinetron.Â
Hanya saja, penafsiran seseorang atas kisah nyata itu bisa berbeda-beda. Ada yang sangat yakin bahwa harta yang didapat Pulan betul-betul karena telah memberikan sedekah sebagai pancingan.
Ada pula yang menganggap dua peristiwa itu (memberi sedekah dan kemudian mendapat hadiah) sebagai hal yang kebetulan. Semua penafsiran itu tentu dengan dasar logika masing-masing dan sah-sah saja.
Tapi, menjadi kurang pas kalau dari kisah tersebut telah menggugah banyak orang meniru hal serupa, tapi dengan niat yang sudah tertanam di kepala sebagai "umpan" untuk memancing harta.