Sewaktu saya masih di sekolah menengah, sungguh tidak terbayang nantinya akan bisa kuliah karena keadaan ekonomi orang tua yang kurang mampu.
Alhamdulillah, berkat prestasi belajar yang baik, bebarapa orang guru saya secara khusus mendatangi ayah saya. Tujuannya adalah untuk membujuk ayah agar mengizinkan saya untuk ikut tes masuk perguruan tinggi negeri (PTN).
Beruntung pula, berkat dukungan ibu saya (yang rajin berdoa setelah salat tahajud), ayah setuju agar saya mendaftar seleksi PTN dan alhamdulillah diterima.
Uang bulanan dari orang tua saya relatif terbatas sekali yang sebagian di antaranya untuk membayar kamar kos di dekat kampus.Â
Saya harus kos karena PTN tersebut berada di ibu kota provinsi, 125 km dari kota tempat saya menamatkan sekolah menengah.
Tapi, mulai semester kedua, saya terbantu karena memperoleh beasiswa dari Depdikbud (sekarang Kemendikbudristek). Saya lupa berapa jumlahnya. Tidak besar, namun tentu meringankan beban orang tua saya.
Apalagi, pada tahun berikutnya saya sesekali menulis opini di koran lokal dan mendapat honor. Saya ingat, ketika itu honornya Rp 2.000 untuk satu tulisan.Â
Namun, pada awal dekade 1980-an, Rp 2.000 tersebut sudah lumayan, karena saya makan siang di warung masih bisa dengan Rp 200.
Selain beasiswa Depdikbud, ada juga teman saya yang menerima beasiswa dari Yayasan Supersemar, yang besarnya tak banyak berbeda dengan yang dari Depdikbud.
Jika saya bandingkan dengan situasi sekarang, jelas yang sekarang lebih baik, karena ada banyak kesempatan mahasiswa untuk mendapatkan beasiswa.
Salah satu di antaranya disebut dengan "KIP Kuliah". KIP adalah singkatan dari Kartu Indonesia Pintar, yang merupakan progam pemerintah memalui Kemendikbudristek.