Jadi MC alias momong cucu jadi pengalaman pertama saya dan istri, setelah menantu kami melahirkan seorang bayi perempuan pada awal Januari lalu.Â
Setelah sang menantu selesai menjalani cuti melahirkan selama 3 bulan, bersamaan pula di kantornya kebetulan mulai sering work from office (WFO).
Karena tidak punya babysitter, akhirnya sang bayi dititipkan kepada kami (saya dan istri), setiap si menantu mau berangkat ke kantor sekitar jam 10 pagi dan baru diambil lagi sekitar waktu magrib.
Kebetulan, rumah yang dihuni putra kami hanya beberapa ratus meter dari rumah saya, sehingga sewaktu ke kantor dengan mobil bututnya, ia singgah menitipkan bayinya.
Kami pun senang-senang saja dititipi bayi. Benar kata banyak orang, ternyata sayang kepada cucu memang lain sensasinya, bahkan terkadang lebih sayang dibanding anak sendiri.
Tentu, sewaktu sang cucu menangis berkepanjangan bisa membuat kami kewalahan. Namanya juga bayi, satu-satunya cara untuk menunjukkan ketidaknyamanannya adalah dengan menangis.
Tinggal kami menebak-nebak saja, apakah si bayi sudah saatnya diberi susu (yang berasal dari ASI yang ditampung pada wadah khusus, disimpan di freezer dan dipanaskan sewaktu akan diminum).
Nah, suatu kali, kami kehilangan akal karena sang cucu menangis terlalu lama. Padahal, saya waktu itu ada keperluan harus membeli sesuatu ke suatu tempat sekitar 7 kilometer dari rumah.
Istri saya punya ide agar ia ikut di mobil saya sambil menggendong cucu. Siapa tahu, cucu akan berhenti menangis kalau dibawa jalan-jalan.
Usul istri saya iyakan, walaupun dalam hati saya sedikit kurang setuju. Bagaimana bila nanti si cucu tetap menangis? Perjalanan jadi tidak nyaman.Â
Tapi, ya sudahlah, saya berdoa saja semoga si cucu jadi tenang. Dan pada awalnya, doa saya dikabulkan Allah, ketika tiba-tiba cucu saya terlihat tenang.