Tahun lalu, Indonesia tidak diperkenankan mengikuti kejuaraan bulutangkis All England, hanya gara-gara di pesawat yang ditumpangi atlet Indonesia, ada penumpang lain yang terpapar Covid-19.
Padahal, atlet Indonesia semuanya dalam kondisi sehat dan siap untuk mengukir prestasi di salah satu ajang bulutangkis yang prestisius itu.
Betapa tidak, All England sangat berbeda nilai historisnya bagi Indonesia, meskipun sebetulnya setiap tahun ada banyak sekali turnamen terbuka di berbagai negara yang juga diikuti oleh pemain kita.
Ya, di All England lah nama Indonesia sangat harum pada era 1970-an. Indonesia seperti tidak ada lawan, khususnya di nomor tunggal putra dan ganda putra.
Jadi, selama satu dekade tersebut, bulutangkis putra seolah identik dengan Indonesia. Saya yang masih SD dan SMP ketika itu, sangat antusias mendengarkan laporan pandangan mata, siaran langsung Radio Republik Indonesia (RRI) dari London.
Memang, di kampung saya Payakumbuh (Sumbar), siaran televisi baru bisa ditangkap pada 1977, tapi itu pun sangat terbatas yang mempunyainya. Baru pada 1980-an televisi menjadi barang biasa di banyak rumah tangga.
Bagi saya, ada kenikmatan tersendiri mendengar teriakan histeris penyiar radio ketika melaporkan momen-monen menegangkan.Â
Momen tersebut terjadi pada partai final yang mempertemukan dua musuh bebuyutan, Rudy Hartono dari Indonesia dan Svend Pri dari Denmark.
Mungkin remaja sekarang banyak yang tidak tahu bahwa sang legendaris bulutangkis Rudy Hartono hingga sekarang masih memegang rekor sebagai juara All England terbanyak, yakni 8 kali, di antaranya 7 kali secara berturut-turut.
Rudy menjadi juara setiap tahunnya sejak 1968 hingga 1974 dan pada 1976. Di dekade 70-an pula Indonesia punya dua pasang yang sama legendarisnya di nomor ganda putra yakni Tjuntjun/Johan Wahjudi dan Christian/Ade Chandra.
Dua pasangan tersebut menciptakan all Indonesian final pada 1973, 1974, 1975, 1977, dan 1978. Luar biasa sekali, bukan?