Sebagai bagian dari generasi yang tumbuh dan berkembang di era Orde Baru, saya sulit untuk berpisah dari media cetak. Tapi, melihat satu per satu media cetak berguguran, mau tak mau saya harus membiasakan diri mencari informasi dari media daring.
Masalahnya, saya kurang puas dengan berita daring yang terkesan dangkal, hanya lebih mementingkan faktor kecepatan menayangkan berita.
Sedangkan soal akurasi dan kedalaman berita, menurut saya kalah jauh dengan media cetak. Padahal, bagi saya mutu sebuah berita lebih pada unsur akurasi dan kedalamannya.
Kalau hanya melihat judul berita, rasanya banyak pembaca yang berharap mendapatkan informasi yang luar biasa. Tapi, judul itu kebanyakan sekadar gagah-gagahan saja.
Makanya, saya tetap lebih suka dengan media cetak yang sudah punya kredibilitas tinggi. Hanya saja, mungkin karena saya tidak berlangganan, tidak gampang bagi saya mendapatkan media cetak seperti dulu.
Tak ada lagi penjual koran yang mangkal di halte bus dan sangat langka yang berkeliling pakai sepeda menyusuri jalan kecil di kawasan pemukiman.
Alhasil, saya membaca media cetak dalam versi online dengan sedikit memaksakan mata, meskipun kurang nyaman membacanya.Â
Saya sering bertanya-tanya, seberapa peduli pihak manajemen media daring dengan mutu berita? Apakah yang menjadi target hanya memburu klik dan menangguk iklan, hingga iklannya bertumpuk-tumpuk membuat sakit mata pembaca.
Tapi, memang ada media yang peduli dengan kesehatan pembaca? Kesehatan yang dimaksudkan bukan hanya fisik seperti mata, tapi terlebih lagi kesehatan mental.
Bukankah kalau media daring ikut-ikutan memburu viral seperti media sosial dengan memberitakan hal-hal yang bersifat sensasional, bisa berdampak kurang baik pada kesehatan mental pembaca yang kecanduan?
Memperhatikan perkembangan seperti itu, jelaslah, kalau dibandingkan dengan media cetak, media daring perlu mengasah lagi kepekaan dan tanggung jawab sosialnya.