Gambaran tersebut seperti membenarkan pendapat yang telah dari dulu kita dengar, bahwa korupsi di negara kita sudah membudaya.
Dan itu terjadi di semua level pemerintahan, dari lingkup desa atau kelurahan hingga nasional, dari kelas teri hingga kelas kakap.
Pejabat yang punya kewenangan besar dan tugasnya berskala nasional, jika menyelewengkan kewenangannya itu, akan meraup jumlah yang besar, bisa hingga triliunan rupiah.
Sedangkan pejabat atau aparat yang kewenangannya kecil atau wilayah kerjanya kecil, maka jumlah yang dikorupsinya juga relatif kecil.
Katakanlah korupsi dana desa oleh oknum aparat desa yang beberapa tahun terakhir ini lagi marak. Bisa jadi jumlah yang dimainkan tidak sampai Rp 10 juta.
Pertanyaannya, apakah pelaku korupsi kecil-kecilan tersebut tidak perlu diperkarakan? Soalnya, jika diperkarakan ke pengadilan biayanya lebih besar ketimbang jumlah yang dikorup?
Pertanyaan di atas dipicu oleh pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, bahwa kepala desa bisa mengembalikan uang yang dikorupsi kecil tanpa harus dipenjara lewat putusan pengadilan (cnnindonesia.com, 2/12/2021).
Alexander lebih lanjut mengatakan, kepala desa tersebut lebih tepat dipecat berdasarkan musyawarah yang melibatkan masyarakat setempat.
Masalahnya, jika dirupiahkan, angka kecil itu seberapa? Lalu, musyawarah desa apakah bisa objektif dalam mengambil keputusan?
Jelas, masalahnya tidak sesederhana itu. Kecil atau besar, namanya tetap korupsi dan mesti ditindak. Tinggal dipertimbangkan cara penindakannya yang praktis tapi tetap memenuhi prinsip keadilan.
Ingat, yang sedikit-sedikit itu lama-lama akan menjadi "bukit". Ibarat kata pepatah, jangan sampai kita "memelihara anak macan".