Ketika muncul berita Transjakarta akan bekerja sama dengan Metro Mini, Kopaja, Steady Safe, Mayasari Bakti dan perusahaan pengelola bus kota lain yang lebih awal eksis di Jakarta, banyak pihak yang khawatir.
Kekhawatiran itu menyangkut bagaimana menyelaraskan standar operasi yang berbeda-beda di masing-masing perusahaan dengan yang diterapkan Transjakarta.
Masalahnya, keselamatan penumpang harus menjadi perhatian utama dan risiko terjadinya kecelakaan harus seminimal mungkin, kalau bisa nol kecelakaan (zero accident).
Seperti apa akhirnya kolaborasi Transjakarta dengan perusahaan bus yang lebih dulu ada  tersebut dan bagaimana mekanismenya tidak begitu banyak diberitakan.
Sekarang yang ramai dibicarakan justru kecelakaan bus Transjakarta yang bertubi-tubi, sehingga bisa disebut telah menurunkan kepercayaan penumpang, atau setidaknya membuat para penumpang waswas.
Lalu, di media daring muncul berita Transjakarta menghentikan sementara kerjasama dengan dua operator mitranya, Steady Safe dan Mayasari Bakti, menyusul serangkaian kecelakaan yang terjadi (suarajakarta.id, 4/12/2021).
Selama pemberhentian, kedua operator tersebut diminta melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan mendalam terkait kelayakan bus.
Terlepas dari penghentian kerjasama itu, bus kota kota gaya lama dulunya memang rada mengerikan karena pengemudinya ugal-ugalan demi mengejar setoran.Â
Adakalanya pengemudi ngetem lama-lama. Tapi begitu bus kota lain dari perusahaan yang sama "merapat" dari belakang, dua bus itu akan kebut-kebutan saling menyalib.
Katakanlah, Metro Mini S 604 (Pasar Minggu-Blok M), saingannya ya sesama S 604. Jika sudah saling menyalib, penumpang merasa seolah-olah lagi sport jantung.
Jika penumpang sepi banget, sering bus tidak sampai ke tujuan akhir dan para penumpang dioper ke bus temannya. Ini yang sering mengesalkan penumpang.
Terkait kecelakaan yang dialami Transjakarta, angkanya memang mencengangkan. Sepanjang tahun 2021 (Januari hingga Oktober), setidaknya terjadi 502 kecelakaan yang melibatkan bus-bus Transjakarta.
502 kecelakaan jelas tidak main-main, dan diduga sebagian besar faktor human error (kesalahan manusia) yang menjadi penyebab. Tentu juga ada sebagian kecil kasus yang karena faktor teknis atau yang bukan kesalahan manusia.
Kompas.id (7/12/2021) memuat infografis sejumlah kecelakaan tersebut, antara lain disebutkan penyebab kecelakaan karena pengemudi mengantuk sehingga menabrak bus di depannya dan ada pula karena kehilangan kendali atau kehilangan keseimbangan.
Kesalahan manusia itu sebaiknya diteliti, apakah karena beban kerja yang overload, kurang tidur, gaji kecil sehingga jadi beban pikiran, perilaku pengemudi yang emosional, dihapuskannya petugas pengawas dalam bus, dan sebagainya.
Kembali ke berita penghentian sementara dua operator di atas, sebetulnya bukan kelayakan bus saja yang harus diperiksa, yang terpenting justru kelayakan pengemudi, agar human error yang terjadi bisa diperbaiki.
Ada pengemudi yang berstatus karyawan langsung PT Transjakarta, tapi juga ada pengemudi dari perusahaan operator. Apakah kualifikasi dan kemampuannya sudah sama dan sesuai standar?
Bagaimana cara membenahi mutu pengemudi Transjakarta, tentu pihak manajemen bisa merancang sejumlah action plan, kalau perlu dengan meminta bantuan konsultan yang sudah berpengalaman di bidang yang relevan.
Menyelamatkan Transjakarta harus diupayakan oleh semua pihak terkait, khususnya berbagai instansi pemerintah yang berwenang dengan regulasi dan pengawasan bidang transportasi.
Transjakarta sudah melewati sejarah yang relatif panjang, yakni sejak 1 Februari 2004. Diklaim sebagai Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara dan Asia Selatan dengan jalur lintasan terpanjang di dunia (208 km)
Lahirnya Transjakarta merupakan hasil studi banding ke Bogota, ibu kota Kolombia, Amerika Selatan, yang telah sukses menerapakan BRT dengan nama Transmilenio.
Awalnya Transjakarta juga banyak dikritik. Bagi pengguna kendaraan pribadi, jelas merugikan karena adanya busway sebagai jalur khusus bagi Transjakarta, sehingga jalur untuk kendaraan pribadi menyempit.
Lalu, bila pengguna kendaraan pribadi diharapkan berpindah jadi penumpang Transjakarta, dulu armadanya masih sedikit dan rutenya masih terbatas.
Namun, kemudian terbukti Transjakarta mampu menjawab kebutuhan warga ibu kota dengan pelayanan yang relatif baik, armada yang lebih banyak dan rute yang menjangkau berbagai sudut ibu kota.
Makanya, sekarang pengguna Transjakarta bukan warga ibu kota saja, tapi juga warga provinsi Jawa Barat (Depok, Bogor, dan Bekasi) serta warga Tangerang (provinsi Banten).
Patut dicatat, pola operasi dan pengelolaan seperti yang dilakukan Transjakarta telah diduplikasi di banyak kota di tanah air.
Sekarang, kita menunggu pembenahan secara menyeluruh yang dilakukan manajemen Transjakarta, agar mimpi zero accident bisa dicapai.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H