Dulu, ketika saya kuliah di tahun 80-an, tak ada kewajiban untuk magang. Hanya saja, harus mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa yang relatif terpencil, selain keharusan untuk menulis skripsi.
Sekarang, melihat pengalaman 3 orang anak saya, semuanya wajib magang di suatu instansi atau perusahaan yang berkaitan dengan bidang studi mereka di bangku perkuliahan.
Justru, KKN hanya diikuti oleh 1 dari 3 anak saya dan itupun tidak seperti saya dulu yang menginap 2 bulan di desa terpencil. Adapun 2 anak saya lainnya, setahu saya tidak ikut KKN.
Rata-rata magang tersebut berlangsung selama 3 bulan. Meskipun pihak kampus sudah memberikan panduan magang, tapi dalam praktiknya akan diatur oleh pihak perusahaan.
Atas pelaksanaan magang tersebut, harus dibuat laporannya yang ditandatangani pejabat di tempat magang dan disampaikan ke dosen pembimbing magang untuk mendapat penilaian.
Tulisan ini tidak mengelaborasi magang sebagai kewajiban di kampus, namun lebih mengulas magang yang inisiatifnya dari seorang yang sudah lulus dari perguruan tinggi dan belum mendapatkan pekerjaan tetap.
Atau, magang lazim juga dilakukan mahasiswa yang sudah tinggal menulis skripsi saja, agar setelah sarjana punya bekal untuk masuk dunia kerja.
Itulah yang sekarang dilakukan anak bungsu saya. Ia sebetulnya telah magang tahun lalu yang bersifat wajib dari kampus. Sekarang ia tengah menggarap skripsi.
Namun, si bungsu tersebut kembali magang di tempat lain lagi sambil menunggu perbaikan skripsinya dari dosen pembimbing. Ini magang atas kehendak sendiri.
Karena ia kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), ia memilih magang di sebuah production house (PH) yang banyak menggarap periklanan.