Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Tim Piala Thomas Indonesia, Akankah Lahir "The Magnificent Seven" yang Baru?

9 Oktober 2021   10:10 Diperbarui: 9 Oktober 2021   20:01 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak ada olahraga yang demikian mengharumkan nama Indonesia selain bulutangkis. Bahkan, pers asing pun menyatakan bahwa Indonesia identik dengan bulutangkis.

Tapi, kalau mau jujur, hal itu terjadi pada era 1970-an, ketika Indonesia betul-betul berjaya mendominasi berbagai kejuaraan bulutangkis dunia.

Nama-nama seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat serta pasangan Christian Hadinata-Ade Chandra dan Tjun Tjun-Johan Wahyudi, seperti tidak ada tandingannya.

Makanya, gelar "the magnificent seven" dijuluki pers asing terhadap ketujuh orang legenda bulutangkis kita itu.

Setelah itu, kekuatan Indonesia mulai tergerogoti ketika negara lain berkembang pesat, terutama China, Korea Selatan dan Denmark.

Namun demikian, sebutan Indonesia identik dengan bulutangkis masih terselamatkan karena berhasil mempertahankan tradisi meraih medali emas cabang olahraga bulutangkis di Olimpiade.

Terakhir, seperti kita ketahui, pasangan ganda putri kita Greysia Polii-Apriyani Rahayu yang sukses menggondol emas di Olimpiade Tokyo.

Memang, jika pertandingan bersifat individu, pemain kita masih tergolong tangguh di nomor-nomor ganda, meskipun di Olimpiade Tokyo hanya ganda putri yang berhasil.

Namun, bila pertandingan dalam format beregu, harus kita akui, Indonesia bukan lagi favorit juara, sehingga julukan "the magnificent seven" pun tinggal jadi sejarah, bahkan mungkin terlupakan.

Ada tiga trofi paling bergengsi untuk bulutangkis beregu, yakni Piala Thomas untuk beregu putra, Piala Uber untuk beregu putri, dan Piala Sudirman untuk beregu campuran.

Pada Piala Sudirman yang berlangsung di Finlandia dan sudah berakhir beberapa hari yang lalu, Indonesia harus gigit jari, karena di perempat final disingkirkan oleh negara jiran, Malaysia.

Kunci kemenangan Malaysia terletak pada keberhasilannya mencuri poin di nomor ganda, yang di atas kertas harusnya dimenangi pasangan kita bila mengacu pada peringkat dunia.

Ironisnya, Malaysia sekarang pelatih kepalanya adalah Hendrawan, pemain bulutangkis Indonesia yang pernah menjadi juara dunia pada 2001.

Ada lagi nama Flandy Limpele, pebulutangkis Indonesia yang kini melatih pasangan ganda putra Malaysia Aaron Chia-Soh Wooi Yik.

Pasangan Malaysia tersebut dua kali mempecundangi pasangan terkuat Indonesia, Kevin Sanjaya-Marcus Fernaldi, di Olimpiade Tokyo dan di Piala Sudirman.

Sedangkan Hendrawan secara khusus melatih jagoan tunggal putra Malaysia, Lee Zii Jia, yang di Piala Sudirman mengandaskan perlawanan pemain kita, Anthony Ginting

Nah, setelah gagal di Piala Sudirman, mulai hari ini para pemain kita harus kembali berjuang agar mampu merebut Piala Thomas yang berlangsung di Denmark.

Bagaimanapun, Indonesia masih diperhitungkan dalam percaturan bulutangkis dunia, khususnya untuk putra, karena faktor sejarah itu tadi.

Tapi, Indonesia jangan puas dengan sejarah masa lalu. Lama-lama akan dilupakan orang jika tak ada pemain pengganti yang meneruskan kejayaan tersebut.

Ujian paling dekat, ya merebut Piala Thomas. Kita harapkan 7 pemain kita, yakni dari tiga nomor tunggal dan dua pasang pemain ganda akan menjadi "the magnificent seven" yang baru.

Bersamaan dengan perebutan Piala Thomas, di tempat yang sama juga dilaksanakan perebutan Piala Uber.

Hanya saja, untuk Uber memang berat bagi kita bila ingin membawa trofi ke Indonesia. Peringkat dunia pemain kita tidak begitu menjanjikan.

Tapi, siapa tahu bisa terjadi keajaiban. Dengan semangat juang yang tangguh, tak ada yang mustahil.

Selamat berjuang tim Piala Thomas dan Piala Uber Indonesia. Doa kami semua menyertai perjuanganmu.

Kami tidak ingin prestasi bulutangkis Indonesia meredup, karena itulah satu-satunya cabang olahraga yang dari dulu telah identik dengan Indonesia. Jangan biarkan semua itu sirna.

dok. indosport.com
dok. indosport.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun