Meskipun bisnis dengan pola waralaba sudah masuk di Indonesia sejak dekade 1980-an, perkembangan yang sangat pesat baru terasa sejak belasan tahun terakhir ini.
Ambil contoh pada bisnis makanan. Awalnya dulu konsep waralaba hanya terbatas pada makanan asing seperti Kentucky Fried Chicken, McDonald's, Hoka-hoka Bento, Pizza Hut, minuman kopi Starbucks, dan sebagainya.
Sekarang, makanan lokal pun menuai sukses dan berkembang amat cepat di berbagai penjuru tanah air. Es Teler 77, Rumah Makan Padang Sederhana, Kebab Baba Rafi, Bakmi GM, J.CO Donuts, Ayam Bakar Mas Mono, adalah beberapa contoh yang sukses.
Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa selera anak muda sekarang lebih suka makanan asing, ya, sekilas memang terlihat seperti itu.
Tapi, bukannya tidak ada peluang bagi waralaba makanan lokal, termasuk makanan tradisional yang merujuk pada makanan daerah tertentu.
Itulah makanya kalau kita melihat di food court yang ada di mal-mal besar, waralaba asing dan waralaba lokal sama-sama punya pelanggan yang ramai.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas apa itu waralaba secara teknis. Tapi, ada sisi lain yang mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca yang tertarik terjun ke bisnis waralaba.
Harus diakui, bisnis ini sangat menggiurkan, terutama bagi mereka yang punya modal. Ada anggapan bahwa apabila kita punya modal, maka membuka outlet barang atau jasa tertentu dengan pola waralaba, akan berjalan mulus.
Bayangkan, bila kita bisa menyediakan sejumlah dana yang dipersyaratkan oleh penyedia waralaba (franchisor), kita akan bisa menjual suatu barang atau jasa dengan merek yang sudah dikenal di lokasi yang strategis
Kemudian, standar operasionalnya, termasuk juga pelayanannya, semua sudah diatur. Jika bisnis tersebut di bidang kuliner, rasa makanannya sama dengan di outlet lain yang tersebar di banyak lokasi.