Bagi mereka yang menghabiskan masa kecil dan masa remajanya di Sumatera Barat, apalagi sebelum tahun 2000, yang namanya soto, ya, apa yang oleh orang luar Sumbar dikenal sebagai Soto Padang.
Jadi, bila ada warung soto di Sumbar, katakanlah namanya Soto Lamak Bana, tak perlu ditulis di papan namanya "Soto Padang Lamak Bana", karena "default"-nya sudah jelas, soto Padang.
Hal itu mirip kasusnya, kenapa tidak ada Rumah Makan Padang di Sumbar. Ya, karena mayoritas rumah makan sudah pasti menyediakan masakan Minang, jadi di papan namanya tak usah dituliskan Rumah Makan Padang atau Masakan Minang.
Tapi, kalau di luar Sumbar, Rumah Makan Padang semuanya mencantumkan tulisan Padang-nya. Meskipun sebetulnya tanpa ditulis pun, dari tampilan rumah makan, sudah ketahuan bahwa itu rumah makan Padang.
Demikian pula warung Soto Padang di Jakarta atau di kota lain selain di Sumbar, juga mencamtumkan "Padang" di papan namanya.
Hanya, soto Padang belum sedahsyat nasi Padang jika dilihat dari jumlah warungnya dan sebarannya di luar Sumbar.
Harus diakui, soto Padang memang belum sepopuler Nasi Padang dengan lauk rendang, dendeng balado, gulai tunjang (kikil), dan sebagainya.
Bukan semata-mata karena saya orang Padang (lebih tepatnya orang Minang, karena asal saya dari Payakumbuh, 125 km di utara Padang), saya jadi sangat menyukai Soto Padang.
Dari kecil, saya memang senang makanan berkuah. Kalau saya makan nasi tanpa kuah, rasanya kurang nendang.Â
Dulu, ibu saya rutin memasak sayur berkuah yang ditumis. Sesekali ibu juga memasak sop, yang bagi saya betul-betul terasa enak.
Namun, kalau memasak soto, seingat saya  sangat jarang ibu membuatnya. Apakah ibu tidak tahu resepnya atau mungkin tingkat kesulitannya tinggi, saya tidak tahu.