Jadi, kalau waktu kecil dulu saya makan soto, sudah pasti itu dibeli. Kebetulan ayah saya penggemar soto, makanya kegemaran itu menurun ke saya.
Ayah sering membeli membeli soto di sebuah warung soto di Pasar Payakumbuh. Kalau tidak keluru, namanya Kedai Soto Yas.
Sesekali ayah membeli soto yang lebih mahal dari Restoran Minang Asli, restoran terkenal di Payakumbuh.
Kalau lagi berwisata ke Bukittinggi (biasanya ayah mengajak anak-anaknya jalan-jalan beberapa hari setelah lebaran), kami pasti makan Soto Bang Karto.
Apakah Bang Karto orang Jawa yang merantau ke Sumbar, saya tidak tahu. Yang pasti soto yang dijualnya soto Padang yang sungguh maknyus.
Waktu sekolah menengah, di kantin juga dijual soto. Tapi, saya hanya sesekali makan soto, karena lebih mahal dibanding pilihan lain.
Nah, sejak tahun 1986, saya sudah menjadi warga ibu kota, karena diterima bekerja di salah satu BUMN.
Berbagai warung soto Padang di Jakarta telah saya jajal, baik di restoran yang khusus menjual soto Padang, atau di rumah makan Padang, yang salah satu menunya menyediakan soto Padang.
Lazimnya, dalam penyajiannya, nasi sudah dicampur ke dalam soto. Tapi, kalau di rumah makan Padang yang menu utamanya bukan soto, nasi terpisah dengan mangkok soto.
Soalnya, yang menyiapkan nasi dan yang menyiapkan soto berasal dari sudut yang berbeda. Nasi disiapkan oleh pelayan di bagian depan, tempat berbagai lauk pauk dipajang di atas piring yang berdempet di balik kaca.
Sedangkan soto disiapkan dari bagian belakang, yang merupakan "markas" makanan yang bukan lauk pauk, seperti soto, sate, martabak, gado-gado, es campur, aneka jus, puding, dan sebagainya.