Karena punya anak yang kuliah di Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat, saya relatif sering ke kota kecil yang layak disebut kota pendidikan itu.Â
Ada sejumlah perguruan tinggi lain di sana, termasuk Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Makanya, tanpa kehadiran mahasiswa, Jatinangor ibarat kota mati.
Kota "mati" itulah yang terjadi di sana sejak 1,5 tahun terakhir ini. Bukan karena tidak ada perkuliahan, namun karena musibah pandemi, kegiatan perkuliahan berlangsung secara online.
Anak saya pun sudah 1,5 tahun tidak ke kampusnya dan juga tidak tinggal di tempat kos, meskipun uang kos tetap dibayar dengan sedikit diskon.Â
Karena anak saya memilih tinggal di rumah kami di Jakarta Selatan, maka saya juga sudah sekitar 1,5 tahun tidak berkunjung ke Jatinangor.Â
Pada Sabtu (28/8/2021), karena suatu keperluan, saya dan anak berkunjung ke Jatinangor. Dugaan saya sebelum berangkat, perjalanan akan berjalan lancar karena tidak banyak dilewati kendaraan.
Untuk berjaga-jaga, kami membawa kartu yang menyatakan kami telah divaksin. Siapa tahu ada pemeriksaan dari tim satgas Covid-19 di daerah yang kami lewati.
Ternyata tak ada peyekatan atau pemeriksaan sama sekali saat kami sebagai warga Jakarta memasuki daerah Jawa Barat, termasuk ketika keluar tol di Jatinangor.
Lalu lintas cukup padat, namun secara umum perjalanan terbilang lancar. Rata-rata kecepatan mobil bisa dipacu 80-90 km per jam.Â
Namun, sewaktu kami berhenti di rest area KM 88, saya kaget karena susah sekali mendapatkan tempat parkir. Artinya, masyarakat yang bepergian melewati jalan tol Jakarta-Bandung, relatif banyak.