Karya seni, terlepas dari apapun definisinya, pada dasarnya merupakan ciptaan yang dibuat seseorang atau sekelompok orang, yang diawali oleh kekuatan imajinasi.
Akan disebut karya seni bila akhirnya hal yang diciptakan itu mengandung nilai artistik, seperti indah untuk dilihat, asyik untuk dibaca, atau merdu untuk didengar.Â
Tentu faktor selera konsumen karya seni ikut menentukan apakah sebuah karya seni diterima masyarakat secara luas, atau hanya dihargai oleh kominitas tertentu saja.Â
Jadi, lukisan abstrak yang dipuji oleh pakar seni rupa, bisa saja tidak disukai oleh orang awam. Demikian pula novel-novel yang "berat", bisa jadi memenangkan penghargaan internasional, tapi tidak laris di pasaran.
Belum lagi kalau kita membicarakan cabang seni yang lain, seperti musik, tari, drama, film, dan sebagainya. Selalu ada semacam pertentangan nilai antara "seni untuk seni" atau "seni untuk rakyat".
Tapi, bagi sebagian seniman, tidak mempedulikan apakah karyanya akan disukai masyarakat atau tidak, karena lebih mementingkan kepuasan pribadinya dalam menciptakan apa yang menurutnya sebagai karya seni.
Bisa pula seniman menciptakan karya seni sebagai ungkapan perasaannya, sehingga suasana hati saat berkarya akan mempengaruhi.Â
Tak heran, ada karya seni yang dibaca oleh orang lain sebagai sebuah bentuk protes atau semacam kritik sosial. Termasuk dalam hal ini sebagai kritik kepada penguasa.
Bukankah pada dasarnya seniman juga manusia biasa yang punya aspirasi politik, meskipun mungkin mereka bukan aktivis politik.
Makanya, seniman adakalanya direspon dengan sikap yang mendua oleh pemerintah. Di satu sisi, seniman dirangkul karena diharapkan peranannya dalam melakukan sosialisasi program pemerintah.
Tapi, di sisi lain, pemerintah belum tentu kuat kupingnya menahan ungkapan seniman yang menyuarakan kritik sosial.Â