Tapi, akan lebih baik bila si karyawan ikhlas menerima rangkap tugas. Soalnya, secara implisit hal itu berarti atasan memberi kesempatan dan pengalaman yang lebih luas yang nantinya bisa jadi bahan pertimbangan untuk dipromosikan.
Yang penting, coba dulu mengerjakannya. Bila masih kepegang, meski sedikit pontang panting, pasti ada hikmah yang positif di balik itu.
Selain itu, memang ada rangkap tugas yang lebih terang-terangan, misalnya tugas tersebut diputuskan dengan terbitnya surat keputusan (SK) direksi.
Tapi, cara seperti ini biasanya bukan untuk karyawan biasa, namun untuk level pejabat. Misalnya, kepala bagian tertentu lagi kosong, contohnya pejabatnya baru pensiun, tapi penggantinya belum diputuskan.
Nah, bisa saja bagian yang kosong untuk sementara dirangkap oleh kepala bagian lainnya yang masih satu divisi. Biasanya, kalau sudah level pejabat, tak lagi ada kemauan untuk menolak rangkap tugas.Â
Semua itu akan dilihat sebagai kesempatan menambah ilmu, menambah pengalaman, serta saatnya unjuk gigi dalam kemampuan. Ujung-ujungnya akan ada reward, mungkin berupa kenaikan gaji, bonus atau sekalian dapat promosi jabatan.
Rangkap tugas hal yang lumrah bagi mereka yang kinerjanya bagus. Sepertinya memang tidak adil, orang yang kinerjanya bagus, akan ditambah lagi tugasnya dengan rangkap tugas.
Tapi, yang kinerjanya biasa-biasa saja, katakanlah sebagai kelompok medioker, tugasnya tidak ditambah, sehingga bisa pulang teng go (tepat waktu, tidak perlu lembur).
Pilihannya ada pada masing-masing karyawan. Mau jadi segelintir orang yang menonjol yang karirnya diperkirakan bakal melesat atau mau cari aman dengan karir yang pas-pasan. Semua ada plus minusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H