Begitu si senior ini duduk di kursi empuk, di sinilah ujian kenikmatan itu bermula. Ya, kenikmatan itu pada hakikatnya juga sebagai ujian atau tantangan.
Bila si pejabat yang senior itu bersifat arogan kepada para junior, suka marah-marah tidak karuan, bibit "nikmat membawa sengsara" mulai terlihat.
Senior yang sekaligus memegang jabatan memang gampang membuat seseorang terlena. Di hadapan para junior, sering bercerita bagaimana kehebatannya dalam meniti karier.
Kalau itu saja tidak apa-apa, apalagi bila diniatkan untuk memberi motivasi agar para junior bersemangat bekerja. Tapi, bila sekaligus dengan memarahi si junior dengan kata-kata yang kasar, karena si junior dianggap lembek, ini berbahaya.
Kemudian, ditambah lagi misalnya dengan mempersulit anak buahnya yang sudah saatnya mengikuti pelatihan atau diusulkan ke divisi yang membidangi sumber daya manusia untuk kenaikan pangkat.
Atau, si junior diberi penilaian kinerja yang jelek, meskipun sesungguhnya dilihat dari hasil pekerjaannya masih lumayan. Padahal, penilaian ini akan menjadi dasar perhitungan bonus yang akan diterima karyawan.
Para junior memang pada akhirnya menerima apa saja tindakan bosnya, karena bila mereka mengajukan protes, bisa saja malah diminta untuk mengundurkan diri.Â
Di lain pihak, mencari pekerjaan baru, bukan hal yang gampang. Lagipula, untuk berburu pekerjaan, tetap dibutuhkan semacam surat rekomendasi dari si bos yang menjelaskan si karyawan selama bekerja dengannya telah menunjukkan prestasi yang baik.
Paling-paling, para karyawan hanya bisa berdoa agar si bos cepat dipindahkan oleh Direksi (bila itu terjadi di sebuah perusahaan).
Ketika akhirnya si bos betul-betul pindah, betapa leganya para karyawan. Mereka mungkin saja akan memotong kambing, sebagai ungkapan rasa syukur.
Sebetulnya, bila para junior bisa bersabar dengan tetap bekerja secara tekun, peluangnya untuk meraih kesuksesan dalam karir, tetap terbuka lebar.