Ternyata ada penyekatan dan menyulitkan sopir untuk memundurkan kendaraan. Tak ada jalan lain, saya turun di sana untuk berjalan kaki.
Saya ambil hikmahnya, anggap saja sebagai olahraga sambil berjemur. Toh, gedung yang dituju hanya beberapa ratus meter lagi, sama dengan jarak dari satu halte busway ke halte berikutnya.
Baru saja saya melangkah, dekat gerbang stasiun MRT, dua orang petugas menghentikan langkah saya, menanyakan surat. Saya kaget dan gelagapan karena tidak punya surat yang diminta.
Untunglah, setelah saya mengatakan mau ke sana sambil menunjuk gedung di seberang jalan, dibolehkan salah seorang petugas. Ternyata tadinya saya dikira mau masuk stasiun MRT.Â
Saya pernah membaca berita, penumpang kereta api komuter, termasuk MRT, hanya bagi mereka yang punya surat tugas dari pimpinan atau Surat Tanda Registrasi Pekerja (STRP).
Jalan raya yang sangat lebar, begitu juga trotoarnya, terlihat sagat sepi. Sesekali iring-iringan mobil, dugaan saya mobil pejabat pemerintah, berlari kencang. Saya dihinggapi perasaan ngeri seperti melihat sesuatu yang menyeramkan.
Yang membuat saya seram bukan soal sepinya. Soalnya, saya sering juga menikmati kenyamanan jalan protokol ibu kota yang sangat sepi di saat lebaran. Tapi, itu sepi yang nikmat.
Sekarang, sepinya sama seperti saat lebaran, tapi kok saya merasa seram, apa karena di titik-titik tertentu ada polisi?
Di gedung-gedung juga serem, beberapa orang polisi berdiri di gerbangnya. Eh, saya tidak tahu pasti, bisa polisi, bisa juga satpam. Soalnya seragam satpam sekarang mirip seragam polisi.
Akhirnya, saya sampai juga di ruang tunggu kantor yang saya tuju. Begitu muncul seorang officer yang sudah bikin janji bertemu saya, ia langsung menyapa: "Bapak sehat-sehat saja kan? Sekarang kita harus sangat hati-hati, ya pak".
Cerita si officer masih berlanjut dengan mengatakan: "Pak, di ruangan kerja saya, dari 22 orang, 8 yang belum kena. Sebagian sudah sembuh. Saya alhamdulillah tidak kena, semoga begitu seterusnya".