Hampir sewindu saya rutin menulis di Kompasiana. Jujur, awalnya saya tidak terpikir tentang membangun personal branding, karena tujuan saya menulis hanya untuk hepi-hepi saja.
Menagapa saya hepi kalau menulis? Itu karena sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) saya sudah hobi menulis, dan itu keterusan sampai sekarang, saat saya tidak muda lagi.
Makanya, begitu bertemu media seperti Kompasiana, saya betul-betul seperti anak kecil yang mendapatkan mainan yang telah lama diidamkannya. Soalnya, Kompasiana, meskipun ada syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi, memberi kebebasan bagi siapapun untuk menulis.
Setelah sekian lama, baru terpikirkan, apakah saya akan tetap menulis apa saja, atau mulai fokus pada satu bidang yang paling saya pahami? Dalam istilah manajemen, hal tersebut identik dengan memilih antara jadi seorang generalis atau spesialis.
Nah, dalam kaitannya dengan personal branding, tentu alangkah baiknya bila saya menganalisis kekuatan dan kelemahan saya, lalu menetapkan bidang yang akan menjadi spesialisasi tulisan-tulisan saya.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya memilih untuk tetap menjadi penulis generalis, karena memang saya sulit untuk melepaskan diri dari seorang generalis.
Seorang penulis generalis terkesan menguasai banyak hal, tapi sebetulnya tidak seperti itu, karena banyak membahas kulit-kulitnya saja. Sedangkan penulis spesialis menguasai suatu bidang saja, tapi secara mendalam.
Tulisan yang konsisten pada bidang yang sama dan betul-betul mendalam, tentu akan menciptakan personal branding yang kuat bagi penulisnya. Artinya si penulis punya keunikan atau diferensiasi.Â
Masalahnya, sungguh berat bagi saya untuk jadi seorang spesialis. Saya sangat gampang tergoda mengikuti kata hati, yakni menulis apa saja yang terlintas dalam pikiran.
Begini, saya itu punya latar belakang pendidikan bidang ekonomi dan bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Maka, tulisan saya tentang ekonomi, manajemen, keuangan, serta pernak pernik dunia orang kantoran, lumayan sering nongol di Kompasiana.
Saya juga pembaca media cetak yang rakus dan sekarang ditambah dengan media daring. Setiap ada berita atau opini yang menarik perhatian, tangan saya gatal untuk segera menulis, semacam memberikan tanggapan atas apa yang saya baca.