Agak lama saya berpikir ketika sibling rivalry atau persaingan antar saudara, diangkat sebagai salah satu topik pilihan di Kompasiana. Soalnya, yang saya jalani sekarang ini, hubungan saya dengan kakak dan adik saya, boleh dikatakan saling mendukung, tidak ada persaingan apa-apa.
Demikian pula anak-anak saya, tidak terlihat ada persaingan di antara mereka. Bahkan, saya bersyukur 3 anak saya sering saling membantu sesamanya.
Namun, setelah saya ingat-ingat, ada beberapa catatan saya di waktu kecil yang mungkin ada relevansinya dengan persaingan antar saudara. Itulah yang saya paparkan berikut ini.
Saya anak ke 4 dari 7 bersaudara. Saya persis di tengah, punya 3 orang kakak dan 3 orang adik. 3 kakak saya terdiri dari 2 perempuan dan seorang laki-laki, persis sama komposisinya dengan 3 adik saya.
Kata orang, anak tengah ingin diistimewakan. Soalnya, perhatian orang tua biasanya lebih tertuju kepada anak sulung dan anak bungsu. Entah ada benarnya anggapan tersebut, yang jelas, ketika kecil saya dinilai galia (bahasa Minang untuk culas) oleh saudara-saudara.
Kami punya orang tua yang penghasilannya ala kadarnya saja. Di dekade 1970-an, awalnya tak ada barang berharga yang kami punyai. Hanya ada 1 buah sepeda yang dipakai ayah setiap hari ke kedai tempat beliau berjualan dan 1 buah radio sebagai sarana hiburan.
Tapi, pada tahun 1975 ayah mampu membeli tape recorder dan beberapa kaset lagu-lagu pop. Kemudian, tahun 1979 sebuah televisi hitam putih yang mampu menangkap siaran TVRI menjadi hiburan utama kami.Â
Ibu membagi tugas harian untuk setiap anak. Saya kebagian menyapu halaman pakai sapulidi setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Sedangkan kakak-kakak ada yang menyapu rumah, ada yang mencuci piring, dan sebagainya.
Masalahnya, saya dari kecil sudah pembaca koran yang lahap. Meskipun waktu itu yang dibaca sebatas berita olahraga. Ketika itu bulutangkis Indonesia tengah jaya-jayanya, dan saya hafal skuad tim bulutangkis Indonesia yang berhasil merebut Piala Thomas tahun 1970.
Nah, itulah yang mebuat kakak-kakak menyindir saya, karena saya sibuk dengan koran, ketika seharusnya bekerja. Namun, giliran makan bersama, saya paling rajin.
Jangan bayangkan lauk yang dibikin ibu waktu itu pakai menu daging ayam atau sapi. Kalau ingin makan daging, ya ketika lebaran. Di hari-hari biasa, menu tahu, tempe, telur dan sayur yang sering kami nikmati.