Kerja sampingan, merupakan hal yang lumrah bagi banyak orang, termasuk saya. Dengan jenis pekerjaan sampingan yang sama, tapi dilakukan pada waktu yang berbeda, saya menemukan hasil yang bertolak belakang. Hal itu terjadi, menurut saya, karena motif bekerja sampingan yang berbeda.
Mungkin karena sebagian besar keluarga saya berprofesi guru, saya pun merasa menikmati pekerjaan berdiri di depan kelas itu. Awalnya, saat kuliah di tingkat 3, saya sudah memberikan les privat akuntansi kepada mahasiswa tingkat bawah.
Kemudian, begitu mau selesai kuliah, saya secara resmi menyandang status asisten dosen. Hal ini berlanjut setelah diwisuda, saya diminta untuk mengabdi sebagai staf pengajar di kampus tempat saya menimba ilmu.Â
Tidak seperti sekarang, ketika itu, di paruh kedua dekade 1980-an, untuk menjadi dosen tidak harus punya ijazah S-2. Justru dosen muda nantinya akan dibiayai negara mengikuti pendidikan S-2 dan S-3, baik di dalam maupun di luar negeri.
Masalahnya, birokrasi agar diterbitkan surat keputusan pengangkatan saya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) karena saya mengajar di perguruan tinggi negeri (PTN), terlalu lama di proses oleh Badan Administrasi dan Kepegawaian Negara (BAKN).
Ringkas cerita, saya mulai melirik informasi lowongan kerja di media cetak terbitan ibu kota. Akhirnya, nasib membawa saya berlabuh di kantor pusat sebuah BUMN, dan otomatis melepaskan peluang jadi PNS.
Dasar saya tidak pernah puas, soal gaji jadi ganjalan saya di BUMN tersebut. Memang, gaji bulanannya masih di atas gaji PNS untuk dosen baru diangkat. Tapi kalau saya tetap menjadi dosen, ditambah honor "ngamen" di dua PTS, maka melebihi gaji saya sebagai pemula di BUMN.
Ndilalahnya, datang surat dari ibu saya, minta tolong agar membantu biaya kuliah adik saya. Dan itu berarti saya harus mencari penghasilan tambahan, sehingga bisa lebih leluasa membantu adik saya.
Tanpa berpikir panjang, saya mengambil kesempatan kerja sampingan untuk menjadi pengajar di sebuah PTS di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Motif saya, jujur, semata-mata untuk mencari uang. Saya rela capek-capek naik bus kota jam 5 sore sehabis jam kantor di kawasan Semanggi, Jakarta Pusat. Jaraknya lumayan jauh, namun masih terkejar untuk mengajar dari jam 18.30 hingga 20.30.Â
Semakin lelah lagi saat pulang dari kampus ke rumah famili tempat saya tinggal, karena dua kali naik bus. Saya tinggal di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.