Atau sebaliknya, si suami kariernya mandek, bahkan terkena PHK. Namun, si istri sukses menjadi seorang pebisnis. Masihkah mereka merasa cocok?
Bisa pula soal pemahaman agama jadi masalah. Si suami tiba-tiba ingin resign dari sebuah bank karena merasa penghasilannya tidak sesuai dengan tuntunan agama.Â
Kemudian ia merintis untuk berdagang, tapi ternyata malah menderita kerugian. Si istri sangat kecewa karena merasa bekerja di sebuah bank tidaklah melanggar agama.
Betapa banyak pasangan yang tetap mempertahankan pernikahannya, padahal di rumah mereka saling diam saja dengan hati yang beku, bahkan ada yang berpisah kamar.
Atau, ada pula suami yang diam-diam melakukan nikah siri. Ada yang tidak ketahuan istri sahnya. Ada yang ketahuan, tapi si istri sah mendiamkan karena takut bercerai.
Bercerai, sedikit banyak akan berdampak buruk bagi anak-anak, juga ada stigma yang kurang baik di mata masyarakat sekitar.
Namun demikian, tak sedikit ibu-ibu zaman sekarang yang lebih berani bertindak dengan melakukan gugat cerai pada suaminya.Â
Ibu-ibu tersebut tidak takut menyandang status janda, yang penting merasa nyaman hidup sendiri tanpa didamping suami yang tidak sehaluan lagi.
Nah, kembali ke kisah awal, kata orang, jika berlandaskan cinta yang tulus, waktu akad nikah rasanya hubungan akan harmonis terus, langgeng, dan abadi.
Masalahnya, cinta tulus tersebut bukan sesuatu yang gampang untuk bisa bertahan terus menerus. Perlu kemauan kedua bilah pihak untuk merawatnya, dengan selalu saling menghargai.
Ketika bayangan indah masa lalu menjadi buram setelah waktu berlalu sekian lama, lalu terjadi perceraian, maka ketika itulah mungkin ada salah satu pihak, biasanya pihak wanita, yang merasakan perlunya perjanjian pranikah.