Teman-teman saya banyak yang heran kalau saya mengatakan sangat menyukai makanan apapun yang terbuat dari tahu dan tempe (selanjutnya saya singkat menjadi 2T). Mereka mengira, sebagai orang Minang, selera saya terkait 2T itu kurang lazim.
Padahal, saya berkenalan dan akhirnya ketagihan 2 T bukan sejak menjadi warga DKI Jakarta saja. Sejak kecil, di Payakumbuh, Sumbar, orang tua saya memang sering menyajikan 2T di meja makan.
Mungkin saja ketika itu orang tua saya sering memasak 2T karena alasan ekonomi, tak punya cukup uang bila membeli daging. Tapi, apapun alasannya, ibu saya sukses menjadikan saya ketagihan 2T. Dan saya pastikan, jika sekarang 2T wajib ada di rumah saya, itu bukan karena ingin menghemat, tapi memang saya doyan.
Tentu untuk variasinya, istri saya harus pintar menyiasati. 2T itu bisa digeoreng polos, digulai, atau digoreng dengan campur kentang, udang, kacang, atau teri balado. Selain itu, 2T sebagai cemilan, terutama kerupuk tempe, sering saya beli di supermarket.
Namun demikian, jika meruntut dari sejarahnya, 2T memang bukan makanan asli Minang. Dulu, di Sumbar, 2T hanya tersedia di kota-kota yang ada warga keturunan Tionghoa, dan kebetulan di Payakumbuh ada kawasan "Kampung Cina". Seingat saya, dulu pabrik 2T di Payakumbuh berada di Kampung Cina tersebut.
Jika saya pulang ke desa kecil ibu saya, saya tidak akan disuguhi 2T karena memang tidak ada yang menjual di sana. Tapi, sekarang sepertinya 2T di Sumbar sudah gampang ditemui di desa-desa karena ada pedagang yang berkeliling pakai motor.
Di rumah makan Padang, 2T pun biasanya disediakan, tapi memang bukan menu yang banyak dicari pelanggannya. Masakan Minang ala rumah makan lebih identik dengan rendang, gulai ayam, dendeng balado, telur dadar, gulai tunjang (kikil), sayur nangka, dan cabe hijau. Namun, pelanggan yang menyukai 2T seperti saya, tidak perlu khawatir, tetap bisa meminta gulai tahu atau goreng tempe balado.
Nah, sekarang saya dikejutkan dengan berita mogoknya pabrik 2T berproduksi gara-gara naik tajamnya harga kedelai impor, yang menjadi bahan baku bagi pabrik tahu dan tempe. Harga kedelai yang sebelumnya Rp 7.200 per kilogram, sekarang menjadi Rp 9.500.Â
Perlu diketahui, Indonesia masih sangat bergantung pada kedelai impor. Soalnya, sekitar 90 persen kedelai yang beredar di negara kita, didatangkan dari luar negeri. Jadi, meskipun ada pemogokan produsen 2T, kecil kemungkinan akan membuat hargnya turun.
Di lain pihak, pembeli 2T kebanyakan adalah masyarakat kelas bawah. Jadi, bila produsen 2T menaikkan harga jual, bisa-bisa tidak lagi dibeli pelanggannya. Paling-paling, pihak produsen menyiasatinya dengan memperkecil ukuran tahu dan tempe, agar harga jual bisa dipertahankan.
Ironisnya, sepeti diberitakan Kompas (5/1/2021), pemerintah menyatakan tidak akan mengintervensi harga kedelai impor di dalam negeri dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Lonjakan harga kedelai dunia mencerminkan stok dan permintaan di pasar global.