Motor yang dicuri sangat gampang dijual, meskipun tanpa surat-surat yang lengkap. Bisa pula motor tersebut dipreteli dan bagian-bagian dari motor ternyata masih laku dijual karena ada penadahnya. Ironisnya, uang tersebut nantinya digunakan untuk membeli minuman keras atau narkoba.
Atau, si pelaku melakukan tindak kriminal karena desakan ekonomi. Hal ini perlu ditelusuri untuk mengetahui apakah sebelumnya mereka telah berupaya mencari penghasilan yang halal.
Cukup banyak tulisan berupa tip bagaimana caranya agar tidak menjadi korban curanmor. Semuanya tentu bermanfaat, yang pada intinya masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan.
Namun, ada hal lain yang perlu dilakukan pemerintah dan juga masyarakat. Pertama, hukuman terhadap pelaku curanmor sudah saatnya diperberat agar menimbulkan efek jera.Â
Kedua, setelah menjalani hukuman, ciptakan iklim yang kondusif agar si pelaku tidak tergoda mengulangi perbuatannya. Untuk itu, masyarakat sebaiknya tidak lagi memberikan stigma negatif dan mencoba memberikan kepercayaan, umpamanya dengan menerima mereka bekerja.
Sekiranya mantan naradapidana tersebut berwirausaha, perlu mendapat pembinaan dari instansi yang membidangi usaha mikro, dan masyarakat tidak perlu ragu membeli produk atau jasa yang ditawarkan mereka.
Ketiga, tentu peran para pemuka agama tak kalah pentingnya, dengan melakukan pembinaan spritual. Tujuannya, agar mereka betul-betul bertobat, bukan apa yang disebut orang Minang sebagai "tobat sambalado" atau tobat sementara yang cepat kambuh lagi, seperti orang yang tobat makan sambal, tapi mau lagi.Â
Agar efektif, semuanya harus bergerak secara simultan, yakni pemerintah, masyarakat, dan pemuka agama. Sudah saatnya masyarakat tidak lagi was-was, bebas dari ketakutan menjadi sasaran pelaku curanmor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H