Waktu pelantikan 6 orang menteri yang baru, Rabu (23/12/2020), Presiden Joko Widodo sekaligus juga melantik 5 orang wakil menteri (wamen). Tapi, sebetulnya jumlah wamen yang akan dilantik berjumlah 6 orang. Hanya saja, ada 1 orang yang semula sudah ditetapkan menjadi wamen, berubah pikiran dan kemudian menolak posisi tersebut.
Orang yang dimaksud adalah Abdul Mu'ti yang juga merupakan Sekretaris Umum Pengurus Pusat (Sekum PP) Muhammadiyah. Tentu hal ini menjadi pertanyaan bagi sebagian orang. Pada umumnya, lebih banyak orang yang menginginkan jabatan bergengsi seperti menteri atau wamen, bahkan tidak sungkan untuk melakukan berbagai pendekatan kepada pihak lain yang dinilai bisa membantu.
Maka, tindakan Abdul Mu'ti yang menolak jabatan, termasuk langka dan bisa disebut sebagai pengecualian. Jika dibaca di berbagi media daring, alasan penolakan Mu'ti karena menyadari ia tidak memiliki kemampuan untuk mengemban tugas dengan sebaik-baiknya seperti yang diharapkan Presiden Jokowi.
Tapi, sebetulnya hal itu belum sepenuhnya menjawab rasa ingin tahu publik. Bukankah kalau Presiden Jokowi sudah menyetujui penunjukan Abdul Mu'ti sebagai Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud), tentu sudah dipertimbangkan secara matang, termasuk dalam penilaian kemampuannya.
Lagipula, sesungguhnya Muhammadiyah sudah sangat sering mengisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ini secara tidak langsung semacam pengakuan pemerintah atas keberhasilan Muhammadiyah di bidang pendidikan, mengingat ormas ini punya ribuan sekolah dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Nama-nama Mendikbud yang berasal dari lingkungan Muhammadiyah antara lain Bambang Sudibyo, Yahya Muhaimin, Abdul Malik Fadjar dan Muhadjir Effendy. Jelas, bila sekarang Abdul Mu'ti yang diminta menjadi Wamendikbud, tentu berkaitan dengan kiprahnya sebagai Sekum PP Muhammadiyah dan sekaligus guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Boleh jadi, penolakan Mu'ti tidak semata soal pribadi, tapi ada "intervensi" dari PP Muhammadiyah. Kebetulan, kebijakan Nadiem Makarim yang sekarang menjadi Mendikbud banyak yang dikritisi Muhammadiyah. Kritik paling keras terkait dengan Program Organisasi Penggerak (POP) yang Muhammadiyah menolak untuk terlibat.
Mungkin menjadi wamen untuk membantu Nadiem tidak membuat Muhammadiyah happy. Meskipun menteri koordinator yang membawahi Nadiem, Muhadjir Effendy, adalah orang Muhammadiyah. Lain halnya bila Abdul Mu'ti ditawari kursi menteri, akan lain ceritanya.
Tapi, sejauh ini Presiden Jokowi terlihat masih klop dengan Nadiem Makarim. Padahal, coba ingat, banyak yang pesimis dan mempertanyakan apa maksud Jokowi menempatkan Nadiem yang masih muda dan bukan berlatar  belakang pendidik, menjadi Mendikbud.
Gaya Nadiem yang out of the box, awalnya menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, antara yang menyukai pakem gaya lama dan yang ingin perubahan signifikan dengan slogan "Merdeka Belajar". Ndilalah-nya, baru dua bulan Nadiem menjadi menteri, terjadi pandemi Covid-19 yang memaksa anak sekolah dan mahasiswa melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Nah, berkaitan dengan PJJ, keahlian Nadiem di bidang teknologi informasi tentu sangat mendukung. Makanya, kecil kemungkinan kursi Nadiem digoyang. Apalagi Nadiem tidak membalas kritikan pada dirinya dengan frontal, tapi menjawabnya dengan bekerja lebih keras.