Setelah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, alhamdulillah, rencana semula dari pemerintah yang hanya menggratiskan vaksin Covid-19 untuk kalangan terbatas, akhirnya telah diputuskan oleh Presiden Joko Widodo untuk menggratiskan kepada semua penduduk Indonesia.
Tapi, mari kita berpikir realistis. Sebetulnya tidak ada vaksin yang gratis, karena pemerintah membelinya dengan anggaran negara. Anggaran tersebut berasal dari rakyat juga, melalui pajak dan cukai yang dipungut pemerintah. Ada juga anggaran yang bersumber dari utang, baik dari luar negeri maupun utang dalam negeri seperti dari masyarakat yang membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah.
Kira-kira berapa pemerintah menghabiskan anggaran untuk bisa memberikan vaksin ke semua penduduk di tanah air? Seperti ditulis kontan.co.id (16/12/2020), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyiapkan anggaran sebesar Rp 60,5 triliun untuk pengadaan dan distribusi vaksin Covid-19.
Merujuk rapat dengan Komisi IX DPR RI (17/11/2020), Menteri Kesehatan Terawan Putranto mengatakan harga vaksin Sinovac sebesar Rp 211.282 per dosis. Jika seluruh penduduk Indonesia sebanyak 270 juta orang, maka dikalikan dengan harga per dosis tadi, didapat angka Rp 57,1 triliun. Ini cukup mendekati anggaran yang disiapkan Sri Mulyani yang telah menambahkan dengan biaya distribusi.
Tapi, biaya di atas baru untuk sekali vaksin per orang. Padahal, agar tercipta herd immunity, diperlukan dua kali vaksin. Hitung saja, berarti anggaran di atas harus dikali dua.
Maka, mengingat besarnya anggaran yang terkuras, sungguh sayang bila program vaksinasi tidak dimanfaatkan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Ini penting dikemukakan, karena masih ada suara sumbang. Maksudnya, sebagian masyarakat menolak divaksin, antara lain karena tidak percaya pada tahapan pengujian yang dilakukan pemerintah.Â
Presiden Jokowi sendiri dengan lantang mengatakan akan menjadi orang pertama yang divaksin. Tujuannya, tak lain agar rakyat percaya dengan kemampuan vaksin dalam membendung pandemi Covid-19. Jika langkah Jokowi dikuti oleh wapres dan semua menteri, juga semua anggota DPR, mudah-mudahan akan membuat masyarakat juga antusias ingin divaksin.
Di lain pihak, entah karena mengantisipasi adanya penolakan vaksin oleh sebagian warga, Pemprov DKI Jakarta dikabarkan mengeluarkan Perda yang bersifat memaksa, dengan adanya denda bagi yang tidak mau divaksin. Demikian pula bagi yang menghalang-halangi pelaksanaan vaksinasi, Â harus siap-siap membayar denda.
Memang ironis, bila anggaran sudah terkuras agar bisa menggratiskan vaksin, tapi pemerintah masih gagal meyakinkan masyarakat, sehingga perlu main paksa. Â Tak pelak lagi, inilah tantangan berat bagi suksesnya strategi komunikasi pemerintah. Tampaknya, sosialisasi harus lebih gencar lagi dan membuka kesempatan diskusi yang seluas-luasnya bagi warga yang masih ragu. Cara persuasif dan tidak main paksa saja, harus diutamakan.
Yang menjelaskan kepada masyarakat sebaiknya tim dokter yang telah diakui kepakarannya. Jangankan vaksin Covid-19 yang masih baru, untuk vaksin hepatitis-B yang sudah cukup lama tesedia, seorang dokter yang akan menyuntikkan vaksin ke tubuh pasiennya, wajib menjelaskan tujuan dan kemungkinan dampaknya.
Kampanye pemerintah di media televisi atau berupa billboard di titik-titik yang strategis di berbagai penjuru, merupakan hal yang baik. Tapi, itu saja belum cukup bagi masyarakat yang kritis. Menggandeng para ulama, baik ulama skala nasional, maupun ulama lokal di masing-masing daerah, pantas dilakukan dengan lebih intens, agar masyarakat yang meragukan kehalalannya, bisa diyakinkan untuk menerima vaksin.