Seorang dokter gigi di Sumbar pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan cara yang boleh dikatakan "kasar". Awalnya, drg. Romi, seorang wanita yang dalam beraktivitas sehari-hari menggunakan kursi roda, telah dinyatakan lulus dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), bahkan dengan predikat terbaik di antara peserta lainnya (abc.net.au, 23/7/2019).
Namun demikian, nasib Romi berubah drastis, setelah kelulusannya dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Kabupaten Solok Selatan, Sumbar, pada 18 Maret 2019. Penempatan dokter gigi tersebut memang di wilayah Solok Selatan, tepatnya di Puskesmas Talunan.Â
Alasan pembatalannya, menurut versi bupati setempat, karena pengunduran diri dan atau tidak memenuhi persyaratan tertentu, sehingga berkas yang sudah dilengkapi tidak dikirimkan ke Badan Kepegawaian Negara dan instansi lain yang berwenang mengeluarkan nomor induk kepegawaian.
Setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan, melibatkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, juga dengan aksi unjuk rasa sejumlah ormas, termasuk Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Padang, akhirnya drg. Romi kembali mendapatkan haknya.
Tapi, pemulihan hak tersebut terjadi setelah masalah drg. Romi diangkat ke level nasional, di mana yang bersangkutan mendatangi DPR-RI, bertemu Mendagri Tjahjo Kumolo, dan menyambangi Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko.
Bupati Solok Selatan kemudian mengakui bahwa ia salah menafsirkan "sehat jasmani dan rohani" sebagai salah satu syarat menjadi CPNS. Soalnya, dalam tes kesehatan, drg. Romi telah dinyatakan lulus saat seleksi CPNS dan buktinya sebelum jadi CPNS pun ia bisa melakukan tugas sebagai dokter gigi.
Sebagai orang Minang, pak bupati tersebut mungkin lupa dengan pepatah Minang sendiri yang memberikan peran pada setiap orang, meskipun bagi mereka yang berkategori difabel. Bunyi pepatah dimaksud, antara lain: "Nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah paunyi rumah."Â
Secara bebas, artinya adalah, orang yang buta ditugaskan menjadi peniup lesung (alat penumbuk padi). Yang tuli untuk melepaskan senjata api. Yang lumpuh untuk tinggal menjaga rumah. Artinya, setiap orang punya peran masing-masing sesuai kondisinya. Bahkan, apa yang di mata orang lain sebagai kekurangan, justru menjadi kelebihan karena bisa diberdayakan.
Mungkin tugas yang disebutkan pepatah tersebut sudah tidak begitu relevan lagi dalam konteks masa kini. Mereka yang difabel tidak harus tinggal di rumah. Buktinya ada yang jadi dokter gigi seperti kisah drg. Romi di atas. Namun, "jiwa" dari pepatah itu, pantas dijadikan pelajaran.
Istilah difabel sengaja dimasyarakatkan tentu bukan tanpa tujuan. Difabel berasal dari different ability yang artinya punya kemampuan yang berbeda, bukan tidak mampu, bukan tidak berguna, dan bukan jadi beban yang mampu.
Dulu, dalam bahasa Indonesia, disebut secara vulgar seperti pada pepatah Minang di atas, dengan menyebutnya buta, tuli, dan sebagainya. Kemudian diperhalus dengan istilah tunanetra, tunarungu, dan "tuna-tuna" lainnya. Namun, istilah tuna masih diskriminatif karena artinya rusak atau cacat.Â