Tak ada rasa malu saya memakai baju bekas, justru merasa senang. Pilihan baju saya jadi lebih banyak dan semuanya layak pakai, tidak terlihat kusam.Â
Cara pak etek tersebut kemudian juga saya tiru. Kemaja saya yang masih layak pakai dan warna serta motifnya masih terlihat jelas, saya berikan kepada keponakan atau sepupu yang kurang mampu secara ekonomi.
Bahkan, suatu kali, saat berlebaran di kampung halaman, seorang sepupu saya terang-terangan meminta kemeja baru yang lagi saya pakai.Â
Awalnya saya merasa sayang juga, tapi setelah saya pertimbangkan, toh saya gampang membelinya bila telah kembali ke Jakarta.Â
Ya, akhirnya, setelah besoknya baju tersebut dicuci, saya berikan kepada sepupu saya tersebut.
Jujur, meskipun saya tidak terlalu sering berbelanja pakaian, tapi lama-lama pusing juga melihat jejeran pakaian yang memakan tempat. Padahal, kesempatan memakainya tidaklah sering.Â
Bila sebuah kemeja saya pakai hari ini, mungkin giliran dipakai lagi sudah tiga minggu kemudian, bahkan sudah pada bulan berikutnya. Tentu akan lebih bermanfaat bila diberikan kepada yang kekurangan pakaian, dari pada berdebu di rumah sendiri.
Sungguh saya terbelalak menyaksikan tayangan di televisi berupa liputan dari rumah para selebiritis. Jumlah pakaian, termasuk sepatu dan tasnya, sudah tak terhitung dan tak cukup hanya ditampung dalam satu kamar. Kalau hanya dibandingkan dengan jumlah pakaian di sebuah kios di pasar tradisional, masih lebih banyak punya si artis.
Ironisnya, di lain pihak, masih banyak warga yang menjadi bagian dari kelompok marjinal yang pakaiannya sangat sedikit dan sebetulnya juga sudah tidak layak pakai.Â
Jadi, melihat ketimpangan di kalangan masyarakat kita, sangat gampang, salah satunya dari pakaian. Maka, aliran pakaian bekas dari yang berkelebihan kepada yang berkekurangan, perlu semakin sering dilakukan.