Kompetisi kasta tertinggi sepak bola Indonesia yang sekarang disebut dengan Liga 1, untuk tahun 2020 ini sudah dipastikan tidak akan dilanjutkan. Namun demikian, untuk tahun depan, direncanakan bergulir lagi mulai bulan Februari. Semoga kali ini tidak molor lagi. Meskipun tidak ada jaminan, karena jadwal yang berubah-ubah, sudah jamak.
Sudah terbayang bukan, bagimana rasanya jadi pemain profesional yang mencari makan dari sepak bola di negara yang iklim kompetisinya belum tertata rapi seperti di Indonesia? Mereka sekarang menderita, sudah 8 bulan tidak merumput, ibarat petani yang tak boleh ke sawah atau nelayan tak boleh melaut.Â
Industri sepak bola bukan hanya jadi tumpuan para pemain, tapi juga banyak personil dan bisnis lain yang berkaitan, seperti pelatih dan timnya (termasuk tukang pijit), wasit dan perangkat pertandingan, komentator siaran langsung di televisi, penjualan merchandise klub, dan sebagainya.
Tapi, tulisan ini tidak akan memperpanjang soal dampak terhentinya kompetisi sepak bola di negara kita. Yang ingin diangkat adalah soal pembinaan pemain usia muda. Soalnya, prestasi timnas remaja kita, terbilang lumayan ketimbang timnas senior. Bila tim senior belum pernah meraih trofi Piala AFF lambang supremasi sepak bola level Asia Tenggara, timnas remaja sudah pernah menggondol, tentu di level usia yang sama.
Masalahnya, potensi besar pemain remaja kita, seperti menguap begitu saja, ketika mereka sudah bergabung dengan pemain senior di berbagai klub yang bermain di Liga 1. Akibatnya, pemain muda usia ibarat layu sebelum berkembang.
Ingat skuad timnas senior yang tampil apik di Piala AFF 2010? Ketika itu Indonesia meskipun tidak juara, tapi keberhasilan menjadi finalis dengan permainan yang rancak, telah menghibur masyarakat banyak. Tidak itu saja, selain kemunculan pemain bintang seperti Christian Gonzales yang dinaturalisasi dan Irfan Bachdim (WNI yang dari kecil berdomisili di Belanda), juga ada sejumlah pemain muda usia.
Ada dua pemain muda yang mencuri perhatian dan terpilih masuk starting eleven, yakni Oktovianus Maniani dan Yongki Aribowo. Okto yang kelahiran Jayapura ketika itu masih sangat belia, 20 tahun, dan Yongki asal Jawa Timur, baru 21 tahun. Tapi, digadang-gadang akan menjadi bintang masa depan, malah karir mereka berdua meredup tak lama setelah itu, sekarang bahkan seperti dilupakan publik.
Kemudian, coba kita lihat lagi skuad Timnas U-19 2013 yang jadi juara AFF, dilatih pelatih bertangan dingin Indra Sjafri dan dikapteni Evan Dimas. Coba sebutkan siapa saja yang masih berkibar sampai sekarang? Evan masih lumayan, meskipun  tidak lagi cemerlang. Tapi kemana itu Mukhlis Hadi, Maldini Pali,  Ilham Udin, Hargianto, atau Paulo Sitanggang.
Ya, mereka masih ada dan tersebar di beberapa klub. Masalahnya, mereka jarang tampil sebagai starter, lebih banyak menjadi penghuni bangku cadangan. Pemain muda memang diuntungkan karena PSSI mewajibkan setiap klub punya sejumlah pemain usia muda.
Tapi, masalahnya itu tadi, mereka tidak diberi kesempatan merumput. Padahal, pemain asing yang ada pun, kualitasnya tidak terlalu signifikan di atas pemain lokal. Justru akhirnya perilaku pemain muda terkontaminasi oleh gaya permain senior yang cenderung kasar dan suka protes. Termasuk pula pemain asing yang sebagian cenderung temperamental.
Kemampuan wasit yang pas-pasan dan disusupi isu pengaturan skor oleh mafia sepak bola, membuat sepak bola kita tidak maju-maju, sehingga potensi pemain muda usia pun seakan tenggelam.