Istilah "inklusi keuangan" atau "keuangan inklusif", semakin sering mengemuka. Hal ini mengacu pada literasi keuangan, yang parameternya antara lain apakah mayoritas penduduk, terlepas dari tingkat kesejahteraannya, sudah punya akses ke bank atau lembaga jasa keuangan lainnya.
Maka, kepemilikan rekening bank, pada awalnya menjadi alat ukur yang paling gampang untuk melihat apakah seseorang sudah melek keuangan atau belum. Hal ini semakin ditunjang oleh kebijakan instansi atau perusahaan yang mewajibkan semua pegawainya membuka rekening bank agar sistem pembayaran gaji menjadi lebih praktis, lebih cepat, dan juga lebih aman.
Jelas ada risiko, seperti bendaharawan yang ditodong perampok atau bendaharawan yang terpaksa nombok karena salah hitung, memberikan gaji seseorang terlalu besar, sehingga untuk yang lain jadi berkurang.
Tapi, jumlah pemilikan rekening tidak identik dengan jumlah penduduk yang sudah punya akses perbankan, karena di perkotaan banyak orang yang punya tiga sampai empat rekening. Lagipula, banyak rekening yang bukan atas nama pribadi, tapi atas nama instansi, lembaga, perusahaan, yayasan, atau bentuk organisasi lainnya.
Apakah mereka yang punya beberapa rekening bank sehingga dompetnya penuh sesak oleh beberapa kartu untuk pengambilan uang di ATM, mencerminkan mereka yang lebih kaya? Belum tentu, karena bukankah sebagian di antaranya punya saldo masing-masing rekening yang kecil sekali?
Sekarang, inklusi keuangan semakin terakselerasi dengan bisanya nomor telpon pintar sebagai pengganti rekening bank, karena bisa bertransaksi, seperti melalui dompet digital.Â
Tentu saja gabungan dari nomor rekening bank dan aplikasi yang diunduh, menjadi kekuatan dahsyat. Tinggal pilih saja, apa yang akan digunakan untuk bertransaski, apakah sms banking, mobile banking, internet banking, e-money, e-wallet, dan sebagainya.
Atau, mohon maaf, terpaksa menyebut nama tanpa bermaksud promosi, mau belanja sesuatu, tinggal pilih yang paling besar memeberikan diskon, apakah pakai Gopay, Dana, Ovo, LinkAja, atau yang lain.
Konsumen semakin dimudahkan karena antar berbagai aplikasi bisa saling terhubung dalam sistem QR Code yang dikembangkan Bank Indonesia (BI), yang dinamakan Quick Response Indonesia Standard (QRIS).
Literasi keuangan secara digital mampu pula mengakomodir mereka yang mau menyimpan uang atau mau meminjam uang dengan berkembangnya pelayanan jasa keuangan melalui aplikasi teknologi finansial (tekfin). Â Hal ini bisa diakses melalui gawai sepanjang ada jaringan internet.Â