Warga kelas menengah ke atas di perkotaan, sangat mungkin tidak menyadari, setiap ia menyuap nasi ke mulutnya, ada keringat petani dan mungkin juga air mata mereka yang tersembunyi di balik itu.
Pertanyaannya, pedulikah warga mapan di perkotaan dengan nasib petani? Bukankah mereka tidak memikirkan produk pangan yang dibelinya, produk lokal atau produk impor?
Siapa yang mendengarkan keluhan petani tentang harga tomat, sawi, buncis, dan cabai yang anjlok sejak pandemi melanda negara kita? Demikian pula harga telur ayam. Ada lagi berita tentang petani garam yang kebingungan menjual hasil panennya, padahal panen tahun lalu saja belum terserap pasar. Peternak sapi perah, petani bawang, petani tembakau, petani tebu, juga mengalami nasib yang sama menyedihkan.
Sesuai teori ekonomi, hancurnya harga produk pertanian disebabkan karena melimpahnya pasokan. Ironisnya, pasokan tersebut menumpuk bukan semata-mata karena panen raya para petani, namun juga karena volume impor yang tak terkendali, seperti yang ditulis Kompas (10/10/2020).
Maka sungguh mencemaskan, karena sekarang dengan UU Cipta Kerja dinayatakan secara tegas bahwa pangan impor sebagai salah satu prioritas pengadaan, setara dengan pangan hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional.
Rasanya layak dipertanyakan, siapkah petani kita bertarung di arena perdagangan bebas? Jika belum, gampang diduga, masa depan petani makin suram.Â
Pertanyaan berikutnya, akankah kita biarkan begitu saja petani bertarung sendiri dan kemudian terbanting? Kita masih berharap dengan peraturan pelaksanaan sebagai turunan dari UU Cipta Kerja yang lebih ramah petani.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H