Kondisi buruk yang sudah menimpa para pekerja karena di-PHK gara-gara dampak bencana pandemi Covid-19, tampaknya akan semakin parah, bila apa yang dikhawatirkan oleh kelompok yang melakukan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, benar-benar terjadi.
Maksudnya, bagi mereka yang selamat karena tidak terkena PHK, kondisi yang dihadapinya akan lumayan berat. Akan banyak pekerja yang berstatus sebagai pekerja kontrak saja, tanpa ada peluang untuk ditingkatkan statusnya menjadi pekerja tetap.
Nah, dalam kondisi seperti itu, jika diambil sisi positifnya, seharusnya mereka yang merasa tidak lagi banyak manfaatnya bila masih menggantungkan nasib pada orang lain yang memberikan pekerjaan, mungkin sudah saatnya untuk berwirausaha. Menjadi bos bagi dirinya sendiri.
Tapi, apakah segampang itu mengubah mindset seseorang, dari yang dulunya hanya melakukan pekerjaan rutin dan setiap tanggal atau hari tertentu menerima gaji atau upah, kemudian menjadi orang yang sibuk membuat sesuatu untuk dijual?Â
Meskipun bergaji kecil, ada enaknya punya pekerjaan tetap, karena sudah pasti punya penghasilan. Namun, apakah sudah pasti? Ternyata begitu ada kondisi yang tidak terduga seperti pandemi, banyak perusahaan yang rontok, sehingga terpaksa melakukan PHK massal.
Adapun pekerja kontrak, selalu dihantui ketakutan setiap mendekati berakhirnya masa kontrak, apakah mereka akan dikontrak lagi untuk masa berikutnya. Hanya saja, secara umum, banyak orang yang terlanjur keenakan bila berstatus sebagai pegawai, karyawan, pekerja, atau buruh.
Padahal, bila punya usaha sendiri, kemungkinan meraih penghasilan melimpah, sangat mungkin terjadi. Tapi, banyak yang justru ketakutan kalau mereka bakal merugi, sehingga modal yang telah tertanam bisa ludes dan semua usaha akan sia-sia.
Bahkan, budaya berdagang yang dulu melekat pada suku tertentu seperti orang Minang, sekarang sudah tidak seperti dulu. Hal ini ada kaitannya dengan keberhasilan dalam bidang pendidikan, di mana semakin banyak anak muda yang bergelar sarjana dan berburu pekerjaan sebagai orang kantoran.Â
Dalam pandangan orang Minang masa kini, berdagang akan menurunkan gengsi bagi mereka yang lulusan perguruan tinggi. Maka budaya manggaleh (berdagang) pun makin terkikis saja.
Jika ada orang tua yang mencari menantu, dulu para pedagang termasuk yang dilirik duluan. Sekarang, pedagang dilirik lebih belakangan.Â
Tentu ini ada kaitannya dengan tingkat kesejahteraan pedagang, khususnya pedagang kecil, yang relatif pas-pasan. Terutama setelah ada minimarket di mana-mana, sehingga warung harian yang ada di sekitarnya, sepi pembeli.