Segala sesuatunya, bila sudah berada pada taraf kecanduan, jelas tidak bagus. Bahkan, menurut penceramah agama, orang yang kecanduan beribadah, sampai-sampai melupakan kewajibannya sebagai seorang suami atau seorang ayah, juga tidak bagus.
Sekarang, tak dapat dipungkiri, ada begitu banyak orang yang kecanduan dalam menggunakan media sosial. Mulai dari bangun pagi hingga tengah malam saat mau tidur, media sosial betul-betul menghabiskan waktunya, tapi hal ini berlangsung tanpa disadarinya.
Justru mereka merasa sangat beruntung karena dengan selalu eksis di media sosial, berbagai respon dari teman-temannya di dunia maya, membuat mereka merasa tersanjung dan makin bersemangat lagi. Maka berbagai foto, video, gambar, tulisan dan bentuk lainnya tiap sebentar menghiasi akun media sosial mereka.
Sejak pandemi melanda dunia, aktivitas melalui media sosial semakin menjadi-jadi. Ada kondisi yang kontradiktif, di mana mayoritas yang kecanduan disebut oleh para pakar sebagai kelompok yang rentan, berpotensi terganggu kesehatan jiwanya. Namun, mereka yang malas bermedia soaial, juga bisa bermasalah secara mental karena menjadi kelompok minoritas yang dianggap kuper.
Sebagai contoh, katakanlah ada sebuah keluarga yang lagi  punya hajat. Seorang anaknya melakukan pernikahan tanpa mengundang karib kerabatnya, karena hanya berlangsung di Kantor Urusan Agama (KUA). Kebetulan keluarga ini tidak aktif di media sosial, makanya acara tersebut tidak diinformasikan kepada orang lain.
Tapi di pihak lain, tanpa disadari, hanya karena foto saat akad nikah oleh seseorang yang hadir di KUA dijapri ke orang lain, lalu si orang lain itu memposting di akun media sosialnya, maka segera tersebar luas peristiwa sakral itu. Kebetulan si orang lain ini termasuk yang terjangkiti kecanduan yang parah dalam bermedia sosial.
Lalu kedua penganten dan juga orang tua masing-masing disibukkan dengan bertubi-tubinya pertanyaan yang masuk ke gawainya, menanyakan acara pernikahan tersebut. Hal yang tadinya didiamkan karena yakin tidak akan banyak yang tahu, malah jadi bumerang gara-gara media sosial.
Bisa jadi yang punya hajat tidak memberitahu banyak orang, karena memang yang diperkenankan hadir hanya pihak yang berkepentingan. Mau mengadakan resepsi dengan mengundang orang lain untuk hadir secara online atau hadir langsung pakai metode drive through, agak ribet juga.
Mau tak mau, jika ada yang mau melakukan akad nikah, sebaiknya memberitahu dan sekaligus mohon doa restu melalui media sosial. Sekaligus pula untuk memohon maaf karena tidak mengadakan resepsi. Jadi, tujuan informasi itu hanya untuk dimaklumi, bukan sebagai undangan.
Cerita lain, saking banyaknya yang kecanduan media sosial, membuat yang masih "normal" justru jadi kelompok minoritas. Mereka yang minoritas ini sangat anti untuk menyebarkan foto-fotonya di media sosial. Tapi seberapa kuat ia melawan kehendak zaman?
Sebuah contoh lagi, ada dua orang wanita yang dulu berteman sewaktu kuliah, bertemu kembali ketika salah seorang berkunjung ke kota tempat tinggal teman yang satunya lagi. Masalahnya, yang satu sangat tergila-gila dengan media sosial, yang satu lagi tidak suka.