Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kecanduan Media Sosial, Perlukah Dilawan dengan Detoks Media Sosial?

26 Oktober 2020   00:08 Diperbarui: 26 Oktober 2020   00:29 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun demikian, kedua orang bersahabat tersebut sama-sama masuk grup percakapan sebuah aplikasi. Hanya saja, yang kecanduan media sosial tentu sering memposting sesuatu, sedangkan yang tidak suka media sosial, hanya jadi peserta pasif.

Maka, betapa tersiksanya si teman yang tidak suka media sosial melihat foto-fotonya telah disebarkan oleh si teman yang kecanduan. Tidak hanya foto, tapi juga video. Pertemanan mereka jadi memburuk ketika yang tak suka fotonya tersebar marah-marah ke yang menyebarkan. 

Memang akhirnya foto itu dihapus lagi, tapi siapa yang menjamin bahwa anggota grup percakapan itu tak ada yang telah menyimpan foto tersebut. Bahkan, mungkin juga telah diteruskan ke grup lain yang tidak diikuti oleh yang wajahnya ada dalam foto.

Terhadap mereka yang candu media sosial, sejumlah referensi menyebutkan kerentanan yang dihadapinya, di antaranya tak kenal waktu, sehingga kurang istirahat, kurang olahraga, kurang bersosialisasi secara langsung, dan sebagainya. Akibat berikutnya bisa menjadi depresi dan juga mengalami sakit secara fisik, termasuk kesehatan mata akibat lama menatap layar laptop atau gawai.

Namun tidak berarti yang malas bermedia sosial tidak bermasalah. Sekarang ada juga imbauan yang ekstrim untuk melakukan detoks media sosial. Jika detoks tersebut dalam arti mengurangi akun media sosial seseorang atau membatasi waktu penggunaannya, barangkali akan berdampak positif bagi kesehatan jiwa.

Tapi, jika detoks itu artinya menghentikan sama sekali secara permanen kegiatan seseorang dalam bermedia sosial, perlu pertimbangan yang matang. 

Tidak mengikuti perkembangan teknologi informasi mutakhir, kuper, tak bisa menanggapi obrolan orang lain, berpotensi membuat seseorang merasa dikucilkan. Bukankah ini juga berbahaya bagi kesehatan?

Akhirnya, kembali kepada pernyataan di awal tulisan ini. Segala sesuatu yang keterlaluan, tidak bagus. Dalam konteks media sosial, terlalu aktif atau terlalu pasif, sebaiknya dihindari.

dok. droidlime.com
dok. droidlime.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun