Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pajak Mobil 0 Persen Ditolak Menkeu, Produsen dan Konsumen Kecewa

20 Oktober 2020   11:25 Diperbarui: 21 Oktober 2020   05:41 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pajak mobil 0 persen ditolak Menteri Keuangan, Sri Mulyani. (Ilustrasi gambar: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Relaksasi pajak mobil baru dengan menerapkan tarif 0 (nol) persen yang diusulkan oleh Kementerian Perindustrian, ternyata tidak disetujui oleh Menteri Keuangan. Padahal sebelumnya sudah banyak beredar berita akan dibebaskannya pajak pembelian mobil baru.

Masyarakat sendiri terlanjur menyambut gembira, seolah-olah usulan Menteri Perindustrian yang menampung aspirasi para pebisnis sektor otomotif, antara lain dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pasti akan terlaksana. 

Asumsinya, usulan yang masih mentah tak mungkin dipublikasikan melalui media massa. Tentu sudah ada lampu hijau dari berbagai kementerian terkait, atau bahkan  mungkin merupakan penjabaran dari instruksi Presiden di sidang kabinet dalam rangka menggairahkan pasar kendaraan bermotor yang lagi lesu.

Seperti diketahui, kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19 yang sejak 7 bulan lalu melanda negara kita, adalah dengan menyeimbangkan masalah kesehatan dalam arti menurunkan laju penambahan pasien positif Covid-19 dan masalah ekonomi dengan memperkecil dampak kelesuan akibat pembatasan sosial.

Sektor otomotif, bila dilihat dari banyaknya pabrik perakitan kendaraan bermotor di Indonesia, jelas sangat strategis nilainya, karena banyak menampung tenaga kerja. Bila omzet penjualan kendaraan anjlok tajam, diduga akan menimbulkan gelombang PHK massal, yang pada gilirannya akan menimbulkan kerawanan sosial.

Jadi, usulan pajak mobil 0 persen, dilihat dari kepentingan nasional, sangat logis, bukan semata-mata membantu industri kendaraan bermotor. Tentu penerimaan negara akan berkurang dari hilangnya pajak mobil. Tapi dengan perekonomian yang menggeliat lagi, maka pengeluaran pemerintah untuk bantuan sosial juga bisa dikurangi.

Lagipula, bila perusahaan yang terkait dalam mata rantai industri kendaraan bermotor meraih keuntungan, pemerintah tetap menerima pajak dari pajak penghasilan perusahaan, bukan pajak pembelian atau pajak pertambahan nilai.

Namun demikian, tak sedikit pengamat yang pesimis, andaipun ada pembebasan pajak, tidak otomatis membuat penjualan mobil meningkat. Kondisi beberapa bulan terakhir ini telah menunjukkan Indonesia sedang berada pada periode deflasi, sebagai cerminan dari lemahnya daya beli masyarakat.

Tapi setidaknya, mereka yang tadinya belum punya mobil akan bergembira, karena dengan mengumpulkan tabungan dalam jumlah yang lebih kecil, ada harapan bisa memilikinya. Yang tadinya punya mobil satu unit, berharap bisa menambah satu unit lagi. 

Untuk warga Jakarta dan sekitarnya, punya dua mobil dengan nomor kendaraan yang diatur agar bisa melewati ruas jalan protokol, tentu akan sangat membantu mobilitasnya. Sekarang memang kebijakan ganjil genap tidak diberlakukan, tapi diduga nantinya Pemprov DKI Jakarta kembali akan menerapkannya.

Maka dengan ditolaknya usulan Menteri Perindustrian oleh Menteri Keuangan, yang kecewa tidak hanya produsen mobil dan seluruh pihak yang terkait dalam mata rantai penjualan mobil, tapi juga masyarakat sebagai konsumen.

Penolakan tersebut sekaligus juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana mekanisme pengambilan keputusan, bila antar menteri, yang secara hirarki sebetulnya satu level, berbeda pendapat.

Logikanya, Menteri Perindustrian bila masih tidak puas, bisa membawa hal ini ke Presiden. Jika Presiden setuju, tentu akan memberikan instruksi kepada Menteri Keuangan yang tidak bisa ditolak lagi.

Berbicara soal ekonomi yang lesu, tidak hanya sektor otomotif yang terpukul. Properti pun demikian juga. Padahal, harga properti dan juga sewa rumah atau ruang kantor mengalami penurunan akibat lemahnya permintaan. 

Hal ini semakin menegaskan bahwa dampak pandemi sekarang ini sungguh luar biasa. Jadi, anggapan masyarakat harga properti selalu naik, secara umum memang betul, tapi ada masa-masa pengecualian seperti yang saat ini terjadi.

Kita masih menunggu langkah terobosan apa yang dilakukan pemerintah untuk kembali menggairahkan perekonomian. UU Cipta Kerja yang digadang-gadang menjadi strategi jitu, masih tanda tanya dengan begitu gencarnya penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya para pekerja dan mahasiswa. 

Sementara itu, deflasi sudah berlangsung dua kuartal, artinya kita sudah masuk masa resesi. Ini resesi yang agak lain karena bukan diiringi inflasi yang tinggi, tapi justru deflasi yang artinya secara umum terjadi penurunan harga barang, mulai dari bahan pangan produk para petani hingga mobil yang jadi produk perusahaan besar. 

Jangan berpikir bila harga barang turun, pasti masyarakat senang. Masalahnya, daya beli masyarakat juga tidak memadai, barang murah pun tidak terbeli. Yang gigit jari adalah mereka yang mencari nafkah dari berjualan, dari skala kecil seperti pedagang kaki lima, hingga dealer mobil dan agen properti. 

Semoga badai pandemi cepat berlalu, lalu perlahan-lahan kondisi kembali normal dan perekonomian nasional pulih lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun