Bagi para penggiat antikorupsi, sebetulnya tidak begitu kaget kalau Mahkamah Agung (MA) memotong hukuman sejumlah koruptor. Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang 2019-2020 setidaknya terdapat 20 perkara yang ditangani KPK, hukumannya dipotong oleh MA (republika.co.id, 21/9/2020).
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, sekalipun setiap keputusan majelis hakim haruslah dihormati, KPK berharap fenomena ini tidak berkepanjangan, karena akan menjadi citra yang buruk bagi lembaga peradilan di hadapan masyarakat. Apalagi sekarang ini masyarakat semakin kritis.
Tapi dipandang dari sisi pelaku korupsi, fenomena tersebut menjadi hal yang memang ditunggu-tunggu. Dengan demikian, efek jera agar para pejabat atau yang mereka yang punya kesempatan, takut melalukan korupsi, semakin hilang.Â
Koruptor yang lihai sudah bisa membuat kalkulasi, dengan jumlah yang dikorup sekian rupiah, dan hanya dihukum sekian tahun yang besar harapan bakal dipotong lagi oleh MA, ya tetap menguntungkan untuk tetap korup.
Berbeda halnya, bila hukumannya maksimal, apalagi kalau ide memiskinkan koruptor dengan menyita aset-asetnya bisa dilaksanakan, barangkali mereka yang berniat untuk korupsi akan berpikir berulang-ulang dan bahkan bisa mengurungkan niatnya.Â
Sayangnya, rancangan undang-undang (RUU) terkait perampasan aset, hingga sekarang masih belum juga tuntas dibahas. Makanya, Kurnia Ramadhana, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam wawancaranya dengan reporter TVRI, Selasa pagi (22/9/2020), sangat berharap RUU tersebut bisa dirampungkan dan disahkan menjadi UU.
Kurnia Ramadhana mengangkat satu contoh yang sulit diterima publik, terkait hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Mantan Bupati Talaud, Sulawesi Utara, Sri Wahyumi Maria Manalip, yang terlibat kasus suap proyek rehabilitasi pasar, hukumannya oleh MA dipotong dari 4 tahun 6 bulan menjadi 2 tahun penjara. Ironisnya, kurir kasus suap tersebut, malah dihukum lebih berat, yakni 4 tahun penjara.
Disparitas antar putusan bagi kasus yang hampir sama, juga disorot oleh Kurnia. Tampaknya, pedoman standarisasi hukuman kasus korupsi yang dikeluarkan MA dan mulai berlaku 24 Juli 2020 lalu belum berjalan dengan baik.Â
Dalam pedoman tersebut, untuk kategori korupsi paling berat, ancaman hukumannya adalah hukuman seumur hidup hingga hukuman mati. Yang termasuk kategori paling berat, kriterianya adalah korupsi yang menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar, mendapat keuntungan lebih dari 50 persen, dan menyebabkan dampak berskala nasional (bbc.com, 5/8/2020).
Namun, berkaca dari hasil penelitian ICW, pada tahun 2019, rata-rata penuntutan terhadap pelaku kasus korupsi adalah 3 tahun 7 bulan, dan vonis yang dijatuhkan hakim rata-rata hukuman penjara 2 tahun 7 bulan. Â ICW mencatat sepanjang 2019 terdapat 1.019 kasus korupsi yang ditangani oleh KPK dan Kejaksaan dengan jumlah terdakwa 1.125 orang.
Dari data ICW juga diketahui bahwa kerugian negara dari kasus-kasus di atas sebanyak Rp 12 triliun, namun yang kembali sebagai denda pengganti kerugian negara hanya Rp 748,1 miliar. Terlihat jumlah pengganti itu sangat sedikit, tidak sampai 10 persen dari kerugian negara.Â