Pengumuman Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang diduga sebelumnya kurang dikoordinasikan dengan pemerintah pusat, bahwa Pemprov DKI akan menarik rem darurat, menuai tantangan dari berbagai pihak. Maksud Anies dengan menarik rem darurat adalah kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai Senin, 14 September 2020 mendatang.
Alasan Anies jelas berdasarkan perkembangan yang makin mengkhawatirkan, di mana setiap hari sekitar 1.000 orang warga DKI menambah panjang daftar mereka yang terpapar Covid-19. Sayangnya, keputusan Anies yang terlihat tegas tersebut, malah memicu komentar yang negatif dari sejumlah menteri, terutama menteri yang membidangi ekonomi, karena gara-gara pengumuman itu, kinerja bursa saham langsung anjlok drastis.
Sebetulnya, Pemprov DKI merasa telah mengambil kebijakan yang dianggap selaras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo sebelum Anies mengambil keputusan. Presiden menyampaikan bahwa urusan kesehatan adalah nomor satu, dan tak ada tawar menawar untuk itu. Ekonomi akan baik kalau kesehatan baik, demikian kurang lebih yang dinyatakan presiden.
Tapi apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur. Anies, sebagaimana yang ditulis republika.co.id (12/9/2020), salah membaca pesan Jokowi. Presiden memang tidak menanggapi langsung pengumuman Anies. Namun demikian, melalui Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, disebutkan bahwa presiden menilai pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) lebih efektif.
Maka ketika para pegawai kementerian tetap akan masuk bekerja di kantor seperti biasa pada minggu mendatang, karena mereka adalah pegawai pemerintah pusat, seperti yang diberitakan salah satu stasiun televisi, mendapat respon dari Pemprov DKI. Pihak pemprov menyatakan akan mengawal agar kebijakan PSBB bisa diterapkan, termasuk bagi pegawai pemerintah pusat.
Di samping reaksi pemerintah pusat, menarik pula dicermati tanggapan para kepala daerah di sekitar Jakarta. Seperti diketahui, DKI Jakarta tak bisa melepaskan diri dari kebijakan yang berlaku di daerah penyangganya, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Begitu juga di daerah penyanga tersebut, tak bisa melepaskan diri dari apa yang terjadi di ibu kota. Artinya, ada hubungan yang saling terkait.
Harus diakui, Wali Kota Bogor, Bima Arya, ternyata pintar melihat arah angin. Maka pernyataan Bima pun seolah bergradasi sesuai dengan intensitas mencuatnya polemik antara Pemprov DKI dengan pemerintah pusat. Hal ini dapat dilacak dari berita yang disiarkan sejumlah stasiun televisi, karena Bima termasuk laris tampil di kayar kaca, setelah Anies mengumumkan akan memberlakukan PSBB
Awalnya Bima menyatakan akan menyelaraskan kebijakan di Bogor dengan Jakarta, jika ada perbedaan, tidak signifikan. Kemudian Bima menyatakan akan menunggu hasil koordinasi antara Pemprov DKI dengan pemerintah pusat yang akan berlangsung Sabtu (12/9/2020) ini. Terakhir, Bima dengan tegas menolak PSBB dan menyatakan memilih menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala mikro dan komunitas (PSBMK).
Apa yang akan terjadi mulai Senin depan di Jakarta, tentu saja perlu dipantau terus menerus oleh warga sekitar Jakarta yang bekerja di Jakarta. Selain itu, meskipun tidak banyak, ada pula sebagian warga Jakarta yang bekerja di kota-kota sekitarnya.Â
Begitulah, kalau koordinasi antara pusat dan daerah tidak tercipta, yang jadi korban adalah rakyat banyak. Anies Baswedan, tidak saja kantornya yang beseberangan dengan kantor Joko Widodo. Yang satu di Jalan Medan Merdeka Selatan, yang satu lagi di Jalan Medan Merdeka Utara. Kebijakannya pun berseberangan, sehingga sangat gampang dipolitisir untuk agenda yang masih jauh, pilpres 2024.
Bisa jadi Anies tidak punya niat untuk membangkang pada pemerintah pusat. Pertimbangannya semata-mata berdasarkan data statistik dan diyakini PSBB menjadi keputusan yang tepat. Tapi pengumuman yang terkesan sak dek sak nyet alias mendadak, dirasa sejumlah pihak sebagai kurang bijak.