Tentang cinta yang tak mesti bersatu, barangkali kita harus berterima kasih kepada seorang penyanyi yang penyair, atau penyair yang penyanyi, Ebiet G. Ade. Dia lah yang mempopulerkan kalimat puitis tersebut sebagai sebaris lirik dalam lagunya yang berjudul Lagu Untuk Sebuah Nama.
Selengkapnya kalimat tersebut (dalam satu bait) adalah sebagai berikut. Mengapa dadaku mesti berguncang/Bila kusebutkan namamu/Sedang kau diciptakan bukanlah untukku, itu pasti/Tapi aku tak mau peduli/Sebab cinta bukan mesti bersatu/Biar kucumbui bayangmu/Dan kusandarkan harapanku.
Tentu saja yang paling tahu apa yang dimaksudkan oleh Ebiet, ya Ebiet sendiri. Apa konteksnya saat ia menggubah lagu itu, sekitar 40 tahun yang lalu, yang sangat mungkin berdasarkan pengalaman pribadinya.
Terlepas dari apakah relevan atau tidak, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan cinta yang tak mesti bersatu bukan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Bukan maksudnya menyuruh seseorang bersabar karena ditolak cintanya, sehinga tak perlu mencari dukun untuk bertindak dan tidak perlu sampai melakukan tindak kekerasan terhadap orang yang menolaknya.
Seperti diketahui, masih saja banyak kita jumpai pada berita kriminal di media massa tentang lelaki yang menganiaya perempuan yang dicintainya, karena si perempuan ternyata tidak menaruh hati padanya. Sehingga cinta yang harusnya penuh nuansa kasih sayang, bersedia memberi, bahkan berkorban, menjadi beraroma egois, kejam dan brutal.
Baik, itu  di luar konteks tulisan ini. Bagi orang Minang atau mereka yang menyukai dan mengerti lagu-lagu Minang, ada banyak lagu bertema "kasih tak sampai". Sepasang pria dan wanita sama-sama mencintai, namun takdir berkata lain, jodoh terlepas dari genggaman.
Biasanya, penyebab kegagalan melangkah ke pelaminan, karena ketidaksetujuan orang tua salah satu pihak. Walaupun istilah kawin paksa ala Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih sudah sangat jarang, tapi dengan persuasif, biasanya orang tua bisa membelokkan cinta anaknya dengan menerima pinangan orang lain, sekaligus memutuskan pacarnya.
Contohnya seperti yang dialami seorang teman saya, sebut saja namanya Amran. Kebetulan Amran baru saja mengirim foto undangan pernikahan anaknya dan mengundang saya untuk hadir secara virtual pada acara yang akan berlangsung seminggu lagi. Gara-gara itulah ingatan saya melayang pada pertemuan terakhir saya dengannya, Februari lalu, di sebuah resepsi pernikahan.
Sebelumnya, saya perlu menceritakan kisah pertemanan saya dengan Amran saat duduk di bangku kuliah sekitar 35 tahun lalu. Ia dan saya tinggal berdekatan tempat kos di kawasan Jati, Padang, Sumatera Barat. Teman saya yang lain, seorang cewek bernama Eli, juga kos tak jauh dari tempat kos saya.
Ringkas cerita, Amran dan Eli saling jatuh cinta dan sepertinya begitu lengket, seakan tak terpisahkan. Saya yang lebih dahulu lulus dan bekerja di Jakarta, kaget ketika akhirnya tahu dari teman lain bahwa Amran yang setelah lulus dan bekerja di Padang, menikah dengan gadis se kota asalnya, Pariaman. Lho ada apa dengan Eli?
Ternyata ada masalah adat yang memupuskan harapan dua sejoli itu. Konon ada adat tak tertulis yang umum berlaku di Pariaman, tapi tidak di kota asal Eli, Batusangkar. Lelaki Pariaman yang sudah sarjana dan bekerja di sebuah instansi yang mapan, punya "harga" tertentu yang disebut dengan "uang jemputan" yang harus disediakan keluarga wanita yang akan menjadi istrinya.