Mungkin konsepnya tidak persis sama dengan moto Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", yang berarti "berbeda-beda tapi tetap satu". Tapi pada dasarnya, baik AS maupun Indonesia secara konstitusional memberi tempat terhormat untuk keberagaman atau pluralitas.
Namun ternyata semua itu tidak cukup sekadar tertulis pada konstitusi. Warga AS harus belajar lagi tentang hakikat "E Pluribus Unum", demikian pula warga negara kita tercinta ini, harus selalu belajar, menghayati, dan mengamalkan "Bhinneka Tunggal Ika".
Patut dicatat bahwa AS pernah punya harapan ketika Barack Obama yang berkulit hitam terpilih menjadi presiden. Selama dua periode, dari 2009 hingga 2017, Obama yang masa kecilnya pernah dilalui di Indonesia, menjadi orang nomor 1 di AS. Tapi itu belum cukup kuat untuk menegakkan prinsip kesetaraan, apalagi presiden sekarang, Donald Trump, dituding oleh para pengamat sebagai rasis.
Bagi kita di Indonesia, tentu bisa mengambil hikmah dari apa yang terjadi di AS. Kesetaraan dan keadilan, terhadap warga asli di belahan timur Indonesia, harus terwujud secara nyata, dengan mempersempit kesenjangan di segala bidang.Â
Tidak cukup dengan menempatkan seorang menteri atau pejabat lain di tingkat pusat yang berasal dari belahan timur. Tapi betul-betul dengan memberi tempat seluas-luasnya bagi saudara-saudara kita di sana menyampaikan aspirasinya, didengarkan dengan tulus serta ditindaklanjuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H