Sebetulnya saya sudah mengetahui dari percakapan di sebuah grup WA. Ada teman yang meneruskan rekaman video antrean di halaman kantor pengadilan agama di sebuah kota di Jawa Barat. Namun awalnya saya pikir hoax. Masak ada antrean mau cerai seperti antrean sembako?
Tapi begitu saya menonton siaran berita yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta, Rabu (26/8/2020) siang yang meliput dari Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, barulah saya sadar, video di grup WA yang telah saya lihat, benar adanya.Â
Bahkan tayangan di layar kaca lebih lengkap, ada yang antre untuk mengajukan gugatan, dan ada yang antre untuk mengikuti persidangan. Meskipun semua yang antre menggunakan masker, kondisi seperti itu tetap mengkhawatirkan karena jarak antar pengantre relatif rapat.
Dari paparan reporter televisi, cukup panjang juga proses gugat cerai yang harus dilalui pemohon. Soalnya, setelah mendaftarkan gugatan, perlu waktu sekitar dua minggu untuk memulai proses berikutnya. Adapun sampai semua proses tuntas, bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Menarik pula menyaksikan, yang menggugat didominasi oleh wanita muda. Dugaan saya mereka berumur di penghujung 20-an atau awal 30-an tahun. Memang tidak ada larangan buat seorang istri untuk menggugat cerai suaminya, asalkan alasan yang mendasarinya sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Nah, dari beberapa referensi, alasan perceraian yang bisa diterima tersebut sesuai dengan Penjelasan Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan, adalah sebagai berikut. Pertama, salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
Kedua, Â salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Kelima, antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Kembali ke berita televisi, ternyata alasan ekonomi menjadi alasan yang dominan dalam gugat cerai tersebut. Artinya, bila melihat ketentuan hukum di atas, alasan ekonomi dimaksud agaknya relevan dengan alasan nomor lima, bila akhirnya terjadi perselisihan yang tajam antar suami istri. Tidak tertutup pula alasan nomor empat yang dipakai, bila akibat persilisihan itu berbuntut pada tindakan kekerasan.
Penjabarannya, karena di Kabupaten Bandung sendiri banyak pabrik atau perusahaan yang anjlok kinerjanya karena dampak pembatasan sosial, maka banyak pula pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Â Kalaupun tidak di-PHK, banyak pekerja yang terkena pemotongan gaji. Lalu, para pedagang di sekitar area pabrik pun juga sepi ditinggalkan para pelanggannya.
Bisa jadi para suami yang terkena PHK, hanya malas-malasan di rumah, yang membuat istrinya kesal. Kemudian terjadilah adu mulut, yang berujung saling memarahi. Mungkin pula, seperti telah disinggung di atas, berbuntut pada tindak kekerasan. Tentu ada juga, meskipun sedikit, yang menggugat cerai karena faktor lain seperti perselingkuhan dengan orang ketiga.