Dari pengamatan sekilas, di Jakarta dan sekitarnya, rumah makan yang laing banyak, dalam arti sangat mudah ditemukan, kalau tidak warung nasi Padang, ya warung Tegal atau yang lebih populer dalam versi singkatannya, warteg.
Kedua warung makan tersebut sama-sama punya banyak pelanggan dan tidak saling bersaing. Soalnya warteg diposisikan sebagai warung makan dengan harga paling murah, sehingga yang disasar juga masyarakat kelas bawah. Sedangkan rumah makan Padang, satu kelas di atas warteg dari sisi harga, tentu pelanggannya juga punya kantong relatif lebih tebal ketimbang pelanggan warteg.
Adapun untuk kelas menengah ke atas, jelas pilihannya sangat beragam, termasuk makanan yang berasal dari Jepang, Korea, Thailand, Italia atau negara Erpoa lainnya, dan Amerika Serikat. Rumah makan Padang yang lumayan berkelas juga hadir di mal-mal mewah.
Namun warteg yang mampu meyewa tempat di mal belum terlihat. Hanya saja sekarang ada perkembangan baru, yakni berkembangnya warteg dengan sistem waralaba yang lebih bersih dan standar tampilannya lumayan menggoda. Kalau tidak salah namanya Warteg Kharisma Bahari yang gerainya telah tersebar di seantero Jabodetabek.
Ngomong-ngomong soal warteg, baru-baru ini menjadi topik di sejumlah media massa. Tidak tanggung-tanggung, berita warteg kali ini disangkutpautkan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Apakah Bu Menteri lagi makan di warteg? Tidak diberitakan tentang hal ini.
Namun ada imbauan simpatik dari Sri Mulyani, seperti yang dilansir dari tempo.co (20/8/2020), yang antara lain meminta masyarakat makan di warteg. Bagi yang jarang makan di warteg atau yang merasa warteg terlalu "rendah" untuk gaya hidupnya yang berkecukupan, jangan buru-buru menilai Sri Mulyani melecehkannya.
Tapi pada intinya, Sri Mulyani menilai semua orang berperan penting dalam menggerakkan perekonomian di tengah pandemi ini. Perkara ekonomi tak bisa hanya berekspektasi dan bergantung pada peran pemerintah saja. Apabila 260 juta penduduk Indonesia berperilaku konstruktif, tentu dampaknya sangat besar.
Nah yang dimaksudkan perilaku konstruktif tersebut misalnya orang yang tadinya enggan makan di warteg, sekarang tak sungkan membeli makanan di warung sederhana itu. Atau bila punya tetangga yang dulunya bekerja di hotel dan sekarang membuka warung makan, ya kenapa tidak membantu dengan berbelanja di warung tetangga itu?
Tentu saja promosi gratis yang disampaikan Menteri Keuangan itu menjadi berita yang menggembirakan bagi para pengusaha warteg ataupun mereka yang bekerja di sana. Biasanya sebuah warteg punya dua atau tiga orang personil yang bertugas memasak, melayani pelanggan, mencuci piring, dan sebagainya.
Namun demikian, tanpa mengecilkan arti imbauan ibu menteri, pada dasarnya justru di masa sekarang ini kemungkinan warteg semakin dicari pelanggannya, bahkan mendapat pelanggan baru. Mereka yang penghasilannya turun gara-gara pandemi dan tidak memasak di rumah sendiri, seolah tak punya pilihan lain, selain makan di warteg.
Harga yang murah meriah dengan pilihan lauk pauk yang bervariasi, tidak kalah jumlah pilihannya dengan warung nasi Padang, menjadi daya tarik tersendiri. Dan semuanya siap saji di mana para pelanggannya tinggal menggunakan sistem layar sentuh saja.Â