Joker adalah salah satu film yang meledak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, pada tahun 2019 lalu. Tulisan ini tidak berkaitan dengan sosok di film tersebut yang digambarkan sebagai seorang pembunuh berdarah dingin, tapi tentang seorang "Joker" Â lain, yang tak kalah sakti.
Betapa tidak, sejumlah pejabat tinggi di kepolisian telah menjadi korban Joker ala Indonesia ini yang diperankan dengan baik oleh Djoko Tjandra. Ia dengan lihainya bisa bersembunyi selama pelariannya sejak 11 tahun lalu.Â
Sempat masuk Indonesia, terus keluar lagi, Djoko akhirnya berhasil ditangkap di Malaysia dan sekarang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.
Ternyata julukan Joker bagi Djoko Tjandra memang tidak ada kaitannya dengan kepopuleran film Holywood di atas. Soalnya, gelar Joker sudah disematkan oleh pers Indonesia sejak 2008 bagi Djoko. Asal usulnya berawal dari persidangan perkara kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan oleh Artalyta Suryani, pada 12 Juni 2008.Â
Dilansir dari pemberitaan harian Kompas (24/6/2008), dalam rekaman percakapan telepon, Artalyta pernah menyebut nama Joker, yang kemudian terungkap bahwa yang dimaksud adalah Djoko Tjandra. Djoko sendiri adalah terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, yang bermula sejak 1999.
Cessie itu sendiri merupakan istilah yang lazim pada bisnis perbankan. Hal ini biasanya merupakan bagian dari jaminan atas pemberian kredit dari bank kepada perusahaan tertentu. Jadi, bila nantinya perusahaan yang menerima kredit tidak mampu mengembalikannya kepada bank, maka tagihan (piutang) perusahaan tersebut, dialihkan ke pihak bank.
Misalkan perusahaan yang menerima kredit merupakan pedagang grosir, di mana pelanggannya adalah para pedagang eceran yang membeli barang dari perusahaan penerima kredit. Pedagang eceran lazim juga berbelanja dengan sistem pembayaran beberapa hari setelah barang diambilnya.
Dalam hal tersebut, jelas perusahaan penerima kredit bank punya tagihan kepada para pelanggannya yang belum melunasi pembeliannya. Nah, tagihan tersebut lah yang dialihkan menjadi milik bank sebagai bagian dari pengembalian kredit.
Namun jika yang dialihkan adalah tagihan suatu bank, seperti dalam kasus Bank Bali di atas, ini relatif jarang terjadi. Karena itu sama saja dengan menggadaikan bank itu sendiri, karena mayoritas aset bank adalah berupa tagihan kepada para debiturnya (orang atau perusahaan yang menerima kredit di bank tersebut)
Jelaslah, bila sebuah bank mengalihkan hak tagihnya, itu merupakan ciri-ciri bank yang mengalami krisis likuiditas, dan bahkan mengarah ke kebangkrutan. Dan memang itulah yang terjadi pada Bank Bali tahun 1999 dulu, sebagai dampak dari krisis moneter yang melanda negara kita.
Bank Bali sendiri sekarang sudah tidak ada, karena di-merger dengan beberapa bank lain menjadi Bank Permata pada tahun 2002. Â Padahal, bank yang tak ada kaitannya dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali itu, dulu cukup harum namanya sebelum krisis moneter. Bank ini didirikan pada tahun 1954 oleh Djaya Ramli.