Harian Kompas edisi Sabtu (25/7/2020) memuat beberapa tulisan yang secara khusus membahas sisi-sisi kehidupan seorang PK Ojong, yang merupakan pendiri koran Kompas, koran yang hingga kini masih menjadi media cetak paling bergengsi dan sekaligus paling berpengaruh di tanah air.Â
Bersama Jakob Oetama, PK Ojong mendirikan Kompas yang terbit sejak 28 Juni 1965. Ojong yang meninggal pada tahun 1980, dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920.Â
Artinya, pada Sabtu kemarin, Ojong tepat berusia 100 tahun. Betul, Ojong sudah tiada jasadnya. Namun demikian, Ojong masih "hidup" karena karya besarnya berupa Kelompok Kompas Gramedia, sekarang masih eksis dan bahkan makin berkembang.
Nah, dari tulisan di Kompas kemarin, terungkap bahwa Ojong dulu rutin menulis di Kompas pada sebuah rubrik khusus bernama Kompasiana. Tulisan Ojong berupa opini atas situasi mutakhir yang terjadi pada masanya. Tapi menarik juga mencermati nama rubrik tersebut, yang seolah-olah dapat dipenggal dua, yakni kata dasar "kompas" yang mendapat akhiran "iana".Â
Akhiran "iana" apa sih artinya? Sia-sia kalau dicari referensinya dari berbagai buku teks pelajaran Bahasa Indonesia di bangku sekolah, atau bahkan di bangku kuliah bagi mahasiswa yang mengambil program studi Bahasa Indonesia. Mungkin tidak ditemukan penjelasannya.
Majalah Tempo pernah punya rubrik Indonesiana yang berisikan kisah-kisah unik, cenderung konyol, mungkin juga dimaksudkan sebagai sindirian, yang terjadi di berbagai pelosok tanah air. Tapi akhiran "iana" pada Kompasiana mungkin tidak menekankan sisi keunikannya, namun lebih kepada keberagaman.
Ya, keberagaman sangat gampang terbaca di Kompasiana, melalui tulisan para kompasianer dengan rupa-rupa topik. Tidak ada tendensi Kompasiana berpihak pada golongan tertentu, partai tertentu, daerah tertentu, ataupun agama tertentu. Semua terwakili.
Kalaupun Kompasiana disebut berpihak, maka dapat disebut berpihak kepada kebenaran. Inilah benang merah yang perlu dihubungkan antara Kompasiana versi sekarang dengan versi saat digawangi Ojong puluhan tahun lalu. Coba simak kutipan dari tulisan Ojong berikut ini yang mucul di rubrik Kompasiana pada Kompas edisi 6 April 1966.
"Tugas pers bukanlah untuk menjilat yang berkuasa, tapi justru untuk mengkritik yang sedang berkuasa.", itulah salah satu kalimat Ojong. Menurut tulisan Budiman Tanuredjo (Kompas, 25/7/2020), berdasarkan buku PK Ojong-Kompasiana Esei Jurnalistik tentang Berbagai Masalah, terdapat 443 esei yang ditulis Ojong, dengan tema yang beragam. Semuanya menonjolkan sikap kritis yang lugas.
Adapun Kompasiana versi sekarang yang menjadi media berekspresi ribuan kompasianer yang aktif menulis, boleh jadi tidak ada kaitannya secara langsung dengan ide-ide PK Ojong. Namun bisa juga pemikiran Ojong tanpa disadari telah terepresentasikan pada sebagian tulisan yang ditayangkan di Kompasiana.
Sedikit tentang kilas balik pendirian blog Kompasiana, dari tulisan Zuragan Kripix (Kompasiana, 8/1/2011), nama Kompasiana digagas oleh wartawan senior Kompas, Budiarto Shambazy. Awalnya hanya dimaksudkan sebagai blog yang terbatas untuk wartawan Kompas, dan online pertama kali 1 September 2008.