Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Musisi Kafe Kelaparan dan Berunjuk Rasa di Depan Balai Kota

10 Juli 2020   00:07 Diperbarui: 10 Juli 2020   00:08 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. cnnindonesia.com

Pagi ini, Kamis (9/7/2020) saya cukup terenyuh saat mengikuti siaran berita dari salah satu stasiun televisi, tepatnya saat melihat liputan unjuk rasa yang dilakukan oleh puluhan orang musisi kafe di depan Balai Kota DKI Jakarta.

Coba saja simak apa yang terbaca dari poster yang terlihat pada foto di atas, "Musisi Cafe Lapar !!!".  Kenapa saya terenyuh? Karena musisi kafe itu sendiri di antara sesama musisi seolah-olah menjadi musisi kelas dua. Padahal menurut saya banyak musisi kafe yang bagus, hanya kesempatan emas buat jadi artis nasional yang belum menghinggapinya.

Sewaktu masih sering melakukan perjalanan dinas ke berbagai kota sejak dekade 90-an hingga tiga tahun lalu, saya biasa makan malam di tempat yang ada fasilitas hiburan live music. Salah satu kehebatan musisi kafe adalah harus mampu membawakan berbagai genre sesuai permintaan pengunjung, dari dangdut hingga jazz, dari lagu nostalgia hingga lagu zaman now.

Makanya setiap selesai membawakan satu lagu, saya tak lupa bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi. Namun kebanyakan pengunjung hanya asyik menikmati makanan, ngobrol dengan temannya, atau sibuk dengan hape di tangannya. Musisi kafe memang sering dicuekin, fungsinya sebagai pelengkap atau pemanis saja.

Musisi adalah profesi yang sebetulnya sangat dibutuhkan karena fungsinya untuk menghibur masyarakat. Bayangkan kalau kehidupan kita sehari-hari tanpa musik, pasti jadi membosankan. Tentu untuk bisa menjadi musisi, seseorang harus punya keahlian bermain musik, dan itu tidak gampang.

Tapi sesama musisi pun punya komunitas masing-masing tergantung kelas sosialnya. Musisi profesional adalah kelas paling atas, yang penghasilannya relatif besar dari rekaman dan dari pertunjukan musik. Karena mereka sudah jadi public figure, musisi profesional ini sering pula jadi bintang iklan. Jadi, selama pandemi Covid-19 pun, dari musisi profesional ini tidak terdengar ada yang kelaparan.

Di lapis berikutnya, barulah musisi kafe yang bermain di kafe-kafe, restoran, hotel, dan sebagainya. Biasanya mereka dikontrak untuk tampil setiap malam selama satu bulan. Tapi honor mereka relatif tidak besar, sehingga kadang-kadang tip dari pelanggan kafe juga menjadi hal yang mereka harapkan.

Pada lapisan terbawah adalah musisi jalanan atau para pengamen. Ini kelompok musisi yang secara ekonomi paling rentan, bahkan ada yang terlibat melalukan tindak kriminal. Tapi pengamen sah-sah saja bila tampil berbaju lusuh dan bersandal jepit, karena dimaklumi masyarakat. Sedangkan musisi dan penyanyi kafe membutuhkan penampilan dan dandanan yang layak.

Kalau musisi profesional sering dipuja puji, pengamen jalanan sering dianggap sebagai  merusak pemandangan. Maka dua kelompok ini sering mendapat perhatian dari pemerintah. Perhatian inilah yang tidak didapat musisi kafe. Padahal para pejabat kalau lagi makan malam di sebuah kafe, suka juga bernyanyi diiringi musisi yang lagi main di kafe tersebut.

Selama empat bulan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tentu  wajar membuat musisi kafe lapar. Maka dengan unjuk rasa tersebut, mudah-mudahan membuat pemerintah menyadari akan eksistensi mereka. Tadinya ketika kafe sudah boleh dibuka lagi melayani pengunjungnya, musisi kafe merasa mereka juga bisa ikut berkiprah lagi.

Ternyata dengan alasan sekarang ini masih dalam masa transisi, musisi kafe belum diperbolehkan bermain di depan para pengunjung di sebuah tempat makan. Artinya musisi kafe masih tetap kelaparan karena mereka bukan selebritis yang gampang mencari nafkah melalui pertunjukan daring atau menangguk rupiah dari media sosial yang banyak ditonton penggemarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun