Hari ini, Senin 22 Juni 2020 merupakan hari bersejarah buat kota Jakarta, karena tepat berusia 493 tahun. Ya, kota metropolitan berstatus provinsi dengan embel-embel Daerah Khusus Ibukota (DKI) ini telah melewati sejarah yang sangat panjang. Pernah dinamakan Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, kemudian sejak kemerdekaan RI, nama resminya adalah Jakarta.
Penetapan tanggal 22 Juni 1527 sebagai kelahiran Jakarta, adalah berdasarkan kedatangan Fatahillah dari Banten merebut kawasan bandar kecil di muara Sungai Ciliwung bernama Sunda Kelapa. Kawasan ini bernilai strategis karena menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dari berbagai negara seperti India dan Cina.
Tentu bila ibu kota Republik Indonesia jadi dipindahkan ke sebuah lokasi di Kalimantan Timur, status DKI-nya akan dicopot. Tapi mengingat kompleksitas masalah di Jakarta diprediksi akan tetap membutuhkan penanganan khusus, bisa jadi embel-embelnya berganti dengan DKMI (Daerah Khusus Mantan Ibukota).
Barangkali perayaan hari ulang tahun (HUT) Jakarta kali ini akan menjadi HUT yang paling sepi karena berlangsung pada masa pandemi Covid-19. Sudah hampir 4 bulan virus berbahaya ini memaksa penduduk seluruh dunia melakukan pembatasan sosial. Tentu warga Jakarta pun diharapkan tidak melakukan kegiatan yang bersifat mengumpulkan massa meskipun untuk memeriahkan HUT ke-493 kotanya sendiri.
Ngomong-ngomong tentang kota Jakarta, banyak ditemukan hal yang bersifat kontradiktif. Contohnya begini, karena Jakarta sudah terlalu sumpek, wajar kalau orang-orang dari daerah diimbau untuk tidak datang ke ibu kota dalam rangka menetap mencari pekerjaan.
Namun, masalahnya adalah sekitar 70 persen dari uang yang beredar di negara kita tercinta ini, adanya di Jakarta. Makanya ibu kota negara mau dipindahkan agar Jakarta tidak sarat beban lagi karena dikerubungi semut-semut yang mencari gula. Gulanya itu yang mau dipindahkan ke Kalimantan.
Apakah Jakarta anti orang daerah? Di sinilah kontradiksinya. Justru yang sekarang berhasil di ibu kota, mulai dari pejabatnya, pengusahanya, bankirnya, artisnya, olahragawannya, sastrawannya, ya mayoritas orang-orang dari daerah itu. Presidennya orang Solo. Gubernurnya orang Kuningan Jawa Barat yang besar di Yogyakarta.
Salahkah kalau mereka yang berhasil lalu membangun istananya masing-masing di kawasan elit seperti Menteng, Kelapa Gading, Kebayoran Baru, atau Pondok Indah? Bukankah akhirnya kehidupan segelintir para pesohor itu sangat kontradiktif pula dengan mereka yang tinggal di perkampungan kumuh dan padat? Ya, kesenjangan menjadi masalah yang mirip benang kusut, tak jelas ujung pangkalnya.
Tapi keliru kalau mengatakan kesenjangan tersebut membuat warga perkampungan padat penduduk tidak merasa nyaman. Paling tidak, dari permukaan terlihat mereka betah-betah saja. Tentu karena sudah terbiasa.Â
Apalagi warga di perkampungan tersebut tinggal berkelompok biasanya bergabung dengan para perantau se daerah asal. Yang belakangan merantau mendatangi yang lebih duluan datang, lalu mengontrak rumah di dekatnya. Jadi warna kedaerahan di ibu kota tetap kental. Inilah kota tempat berbagai bahasa daerah lazim terdengar.
Jangan pula keburu memandang rendah warga perantau yang tinggal di perkampungan, yang kata sebagian orang, tidak sedap dipandang dan karenanya harus digusur.