Karena sikap pelayanan yang tidak memenuhi standar prosedur yang ditetapkan pengelola berpotensi mencoreng citra mal tersebut, maka larangan memberi tip cukup logis. Masalahnya tidak gampang juga melarang pengunjung yang memberikan tip dengan ikhlas atas dasar rasa kasihan atau dengan motif berbagi rezeki dengan orang yang dianggap layak dibantu.
Kemudian soal lain lagi, tidak gampang juga bagi pihak pengelola parkir untuk mengawasi tingkah laku semua anak buahnya, khususnya juru parkir di setiap lantai ruang parkir. Memang ada cctv atau alat lain yang bisa membantu. Tapi belum tentu efektif, soalnya harus menambah satu pegawai yang ditugaskan memelototi cctv. Bahkan mungkin menambah dua pegawai untuk dua shift.
Memberi tip buat juru parkir atau pak ogah, sudah lama membudaya di negara kita. Hanya ada yang memberinya dengan ikhlas, ada pula yang sambil ngedumel. Sedangkan dari sisi si juru parkirnya, ada yang tidak bermaksud minta tip, tapi akan menerima jika diberi, ada pula yang seperti memancing agar diberi tip.
Coba saja dilihat, akankah larangan memberi tip kepada juru parkir di mal-mal di Jakarta bisa berjalan dengan baik dalam jangka waktu yang lama, sehinga terbentuk budaya baru dengan pelayanan yang lebih baik, dalam arti jelas hak dan kewajiban bagi pengunjung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H