"Pa, dalam masa Covid-19 sekarang, masih ada nggak perusahaan yang membuka lowongan kerja?", tanya seorang anak saya, saat kami makan malam, belum lama ini. Gampang saya tebak, anak saya itu, panggil saja namanya Budi, sudah ingin cabut dari perusahaan tempatnya bekerja.Â
Budi belum genap berusia 25 tahun. Tak lama setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pertengahan 2018 lalu, ia diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan manajemen terkenal, karena berafiliasi dengan konsultan asing papan atas.Â
Hanya karena ia terlalu sering pulang larut malam sehingga tak punya waktu lagi untuk bermain musik, hobi yang juga nantinya direncanakan akan jadi profesinya bila telah berhasil mengumpulkan uang, ia tinggalkan setelah bekerja 6 bulan.
Kemudian Budi cukup intens bermain musik bersama teman-temannya yang tergabung dalam sebuah grup band beraliran metal.Â
Budi adalah drummer-nya. Tapi dengan bekal beberapa lagu yang diunggah di Youtube, jelas bukan hal gampang meraih sukses, sehingga dompetnya jadi kering. Ia juga gengsi minta uang ke saya, namun diam-diam saya transfer sejumlah uang ke rekening tabungannya.
Lalu, sejak November tahun lalu, Budi melamar lagi ke beberapa perusahaan, dan diterima di sebuah perusahaan sekuritas, yang merupakan perantara dalam jual beli saham atau obligasi yang diperdagangkan di bursa efek.Â
Masalahnya, menginjak bulan keenam ia di sana, keluhannya makin menjadi-jadi. Bukan lagi soal lembur, tapi katanya sangat tidak jelas job description-nya, struktur organisasinya juga tak jelas, sehingga ia tak yakin kariernya bakal naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Kalau saya melihat penggolongan usia atau penggolongan tahun kelahiran, menurut referensi yang saya baca, anak saya itu tergolong generasi milenial. Konon inilah generasi yang paling tidak loyal, atau kurang loyal jika dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.
Saya sendiri, saat awal berkarier di sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang keuangan, juga banyak merasakan ketidakpuasan. Tapi akhirnya saya mampu bertahan hingga pensiun di usia 56 tahun, tiga tahun lalu.Â
Kemudian, hingga sekarang, perusahaan negara lainnya, yang merupakan pesaing dari tempat saya bekerja sebelumnya, mengontrak saya sebagai, anggap saja namanya staf ahli yang membantu dewan komisaris, yang masuk bekerja di hari-hari tertentu saja.Â
Tapi saya tahu persis apa keluhan teman saya yang menjadi pejabat di divisi human capital, baik di tempat saya yang lama, maupun di tempat saya sekarang. Bahwa pegawai yang mereka rekrut sejak sepuluh tahun terakhir ini, tingkat turnover-nya telatif besar, jauh meningkat ketimbang periode-periode sebelumnya.