Ini bukan tentang pilkada yang seperti wajib memajang foto para calon atau bakal calon kepala daerah di pinggir jalan raya. Dari sisi anggaran yang menjadi topik tulisan ini, kalau pilkada tentu jelas memakai anggaran masing-masing calon atau dari sumbangan tim suksesnya.
Lagi pula sudah ada keputusan Presiden, pilkada serentak tahun ini baru akan dilaksakanan pada bulan Desember. Itu pun ada kemungkinan ditunda lagi tergantung tingkat keberhasilan penanganan pandemi Covid-19.
Tapi bukan politisi namanya bila tidak pintar memanfaatkan situasi. Setidaknya ada dua momen yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang berencana bertarung di pilkada mendatang, terutama oleh petahana yang ingin duduk lagi pada periode keduanya sebagai bupati, wali kota, atau gubernur.
Pertama, dengan kekuasaannya sebagai kepala daerah, bisa memajang foto dirinya pada kemasan bansos bagi warga terdampak pandemi Covid-19. Kedua, menyambut momen Idul Fitri, memajang foto dirinya pada spanduk ucapan selamat hari raya. Bisa juga berupa baliho atau billboard yang di pasang di lokasi strategis di daerah yang dipimpinnya.
Pertanyaannya, karena yang memajang foto juga sedang menjabat sebagai kepala daerah, sangat besar kemungkinan biaya yang dikeluarkan berasal dari anggaran pemerintah daerah.Â
Jauh sebelumnya, sebetulnya sejak lima tahun terakhir ini gampang sekali kita temui spanduk sosialisasi program pemerintah atau instansi lain yang dihiasi dengan foto pejabat yang terkait.
Sebagai contoh, spanduk tentang kawasan tertib lalu lintas, biasanya disertai foto kapolres atau kapolda setempat. Konon di Sumbar, seorang kapolda yang putra daerah setempat berhasil meningkatkan elektabilitasnya, berkat rajin memasang fotonya saat menjadi Kapolda Sumbar, meski sekarang sudah tidak jadi kapolda lagi.
Spanduk tentang sosialisasi bahaya narkoba, bisa pula disertai dengan foto kepala instansi yang mengepalai upaya penanganan masalah narkoba di tempat itu. Sosialisasi kependudukan ditebeng oleh foto kepala BKKBN di daerah tersebut.
Yang paling banyak adalah poster kampanye pariwisata setempat yang memajang foto kepala daerah, wakil kepala daerah dan juga disertai kepala dinas pariwisata di daerah itu.
Bahwa sosialisasi program pemerintah dipajang di berbagai penjuru kota, ini sebetulnya lagu lama. Namun di waktu belum ada pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, semua materi sosialisasi tidak "dibajak" menjadi seolah-olah kontribusi seorang kepala daerah atau kepala dinas saja.
Dengan adanya tempelan gambar pejabat, bisa jadi tidak akan menambah biaya secara signifikan. Tapi rasanya tetap kurang etis bila anggaran untuk humas atau untuk promosi program pemerintah, dibelokkan seperti jadi mencuri start kampanye.
Tak heran, bagi petahana, peluang untuk kembali duduk di singgasananya sangatlah besar, kecuali pesaingnya sangat populer atau bisa memainkan politik uang dalam jumlah yang lebih besar tanpa terendus pihak pengawas pilkada.
Jadi, semaraknya materi sosialisasi program pemerintah daerah, termasuk penyaluran bansos, yang disusupi oleh hiasan wajah pejabat, sebaiknya memancing aparat dari instansi yang punya kewenangan memeriksa pengeluaran daerah, untuk menilai apakah masih dalam koridor yang wajar atau tidak.
Bahkan di luar masa pilkada, sebetulnya banyak masyarakat yang mulai jengah bila melakukan perjalanan antar kota. Setiap memasuki gerbang kota atau keluar dari gerbang kota, papan ucapan selamat datang atau selamat jalan seperti wajib harus memajang foto kepala daerah dalam ukuran besar. Apakah ini menjadi standar baru yang mau tak mau harus dinikmati masyarakat?
Dari pengamatan sekilas, sejak dimulainya era reformasi, terlihat semua pemerintah daerah dan juga semua kementerian sebagai representasi pemerintah pusat, sangat mementingkan berpromosi, termasuk di media cetak.
Artinya kemungkinan besar anggaran di semua instansi untuk pos biaya humas, atau pos apapun namanya yang bisa digunakan untuk sosialisasi dan promosi, meningkat dari biasanya. Lihatlah advetorial di koran atau majalah berita papan atas, sering ditemukan iklan yang dikemas bergaya berita. Ini yang lazim disebut dengan advetorial.
Pencapaian kinerja setiap kementerian atau pemerintah daerah, tergambar pada promosi tersebut. Tentu tidak lengkap bila tidak ada foto pejabatnya, termasuk kutipan wawancara yang menonjolkan prestasi si pejabat.
Padahal perlu diingat, instansi pemerintah bukanlah perusahaan yang memang bertujuan mencari keuntungan. Bila BUMN memasang iklan, masih masuk akal.
Tak bisa diingkari, sosialisasi program pemerintah sangatlah penting. Tapi bila itu harus memakan anggaran yang besar, tentu pantas dipertanyakan. Bukankah dengan rajin mengkinikan website masing-masing instansi, sudah memadai dan murah?
Perlu ada kajian yang mendalam seberapa penting instansi pemerintah beriklan dan seberapa besar anggaran pemerintah yang masih bisa disebut layak dikeluarkan untuk iklan tersebut. Rasanya ruang publik telah terlalu sesak dengan gambar pejabat. Demikian juga halaman media cetak atau jam tayang di layar kaca.Â
Bagi biro iklan yang diajak bekerja sama tentu hal ini berita bagus. Tapi bukankah anggaran yang terpakai untuk iklan akan lebih efektif bila digunakan untuk membantu masyarakat banyak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H