Salah satu yang akan dikupas di sini sebagai contoh diferensiasi yang dimaksud adalah Warung Misbar yang ada di Bandung. Misbar atau "gerimis bubar" adalah bioskop kelas rakyat yang semarak di era 1970-an.
Di warung yang lumayan besar itu, film-film lama yg telah sering ditayangkan ulang di stasiun televisi nasional seperti film-film komedi yang dibintangi  Warkop DKI, setia menemani pengunjung yang lagi bersantap.Â
Sayangnya mungkin karena filmnya sudah mulai buram atau karena sudah pernah menontonnya, kebanyakan pengunjung tidak peduli dengan film yang diputar.
Mereka lebih fokus menikmati makanannya di warung yang menyediakan beraneka menu
tradisional yang lebih dekat ke cita rasa masakan Jawa ini.Â
Pengunjung mengambil makanan secara prasmanan, kemudian membayar di kasir, lalu makan di meja yang dipilihnya. Bila memang ingin menonton film, bisa memilih duduk di bangku kayu yang dibuat melingkar setengah lingkaran di hadapan layar. Jangan khawatir, kalau gerimis gak bakal bubar, karena ada atapnya.
Kalau soal harga relatif standar untuk tempat makan kelas menengah. Dengan uang sekitar Rp 40.000 telah memperoleh nasi, lauk, sayur, dan minuman teh.
Jika saja pengelolanya punya stok film yang tidak terlalu uzur, bisa mendapatkan film yang diproduksi masih belasan tahun lalu, syukur-syukur film yang pernah mendapat penghargaan di festival film, mungkin akan membuat orang datang karena memang ingin menonton dengan makanan sebagai aktivitas pendamping.
Tapi bagi yang belum pernah ke sana, tentu sekaligus bisa bernostalgia bila dulu punya pengalaman menonton di bioskop misbar. Desainnya dari depan cukup meyakinkan dengan adanya ruangan mirip loket penjualan karcis dan lorong antrean masuk.
Namun bagi orang Bandung sendiri yang sudah pernah ke sana, agaknya daya tarik Warung Misbar ini sudah tidak begitu kuat.Â
Jadi konsep diferensiasi untuk bisnis kuliner sebaiknya tidak dari sisi tampilan tempatnya saja, bila ingin mempunyai pelanggan tetap atau setidaknya punya pelanggan yang ingin datang lagi.Â